close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Alat berat menggusur lahan masyarakat di Nagari Kapa, Pasaman Barat, Sumatera Barat, Jumat (4/10/2024)./Foto Instagram @spipetani
icon caption
Alat berat menggusur lahan masyarakat di Nagari Kapa, Pasaman Barat, Sumatera Barat, Jumat (4/10/2024)./Foto Instagram @spipetani
Peristiwa
Jumat, 11 Oktober 2024 06:11

Konflik di Nagari Kapa dan urgensi keadilan agraria

Konflik agraria di Nagari Kapa, Pasaman Barat, Sumatera Barat sudah berlangsung sejak 1997.
swipe

Konflik agraria antara masyarakat Nagari Kapa, Pasaman Barat, Sumatera Barat dengan perusahaan sawit anak usaha Wilmar Group, PT. Permata Hijau Pasaman I (PHP I) di lahan prioritas reforma agraria (LPRA) Serikat Petani Indonesia (SPI) kembali memanas.

Pada Jumat (4/10), PT. PHP I bersama aparat masuk ke lahan pertanian masyarakat untuk menanam sawit. Warga yang sedang beraktivitas di ladang tak terima ketika dihalangi untuk bertani. Total areal konflik seluas 924 hektare, sedangkan yang ditanami petani sekitar 600 hektare.

Lahan itu sudah ditanami jagung, pisang, dan tanaman pangan lainnya. Lalu, polisi menangkap 10 petani. Posko yang menjadi tempat beristirahat pun dirobohkan paksa.

Penggusuran itu seharusnya tidak dilakukan karena lokasi tersebut sedang dalam tahap proses penyelesaian konflik agraria oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (Kemen ATR/BPN) dan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Kabupaten Pasaman Barat, yang diketuai Bupati Pasaman Barat beranggotakan SPI dan Polres Pasaman Barat.

Ketua Umum SPI, Henry Saragih, mendesak PT. PHP I menghentikan penanaman sawit dan meminta agar aparat kepolisian Polda Sumbar dan Polres Pasaman Barat mundur dari LPRA SPI Nagari Kapa. Dia juga meminta supaya aparat membebaskan 10 petani yang ditahan Polda Sumbar.

“Kapolri harus menindak tegas keterlibatan aparat kepolisian Polda Sumbar dan Polres Pasaman Barat dalam penggusuran tanah petani yang sudah ditetapkan sebagai LPRA dan diduga melakukan tindak kekerasan kepada petani,” ujar Henry kepada Alinea.id, Rabu (9/10).

“Eksekusi sepihak dilakukan tanpa ada dasar hukum dan pemberitahuan.”

Henry mengatakan, penggusuran oleh PT. PHP I bersama aparat telah mengangkangi pemerintah. Sebab, tanah yang sedang menjadi sengketa itu masih dalam penanganan Kemen ATR/BPN. Oleh karena itu, Henry mendesak Kemen ATR/BPN segera mempercepat proses penyelesaian konflik agraria petani SPI Nagari Kapa, dengan mendistribusikan tanah kepada petani dan memberikan peringatan keras kepada PT. PHP I.

Konflik agraria di Nagari Kapa sendiri sudah berlangsung sejak 1997. Henry menuturkan, petani di Indonesia sudah banyak mengalami tekanan struktural di banyak tempat. Misalnya kebijakan pemerintah yang abai memberdayakan petani, lebih cenderung mendukung pembagian lahan kepada korporasi lewat kedok program food estate.

“Penggusuran yang terjadi di Pasaman Barat oleh Wilmar Group dilakukan di kawasan daulat pangan Serikat Petani Indonesia, di mana petani menanam padi dan jagung,” tutur Henry.

Apalagi, kata Henry, sejak terbit Undang-Undang Cipta Kerja, banyak lahan pertanian yang diambil alih perusahaan perkebunan. Celakanya lagi, pengambilalihan lahan-lahan pertanian yang sebenarnya dikelola petani direbut dengan beking aparat.

“Kondisi ini masif terjadi di banyak tempat, aparat menjadi pelindung korporasi. Perusahaan lebih dapat perlindungan, justru petani ditangkap,” kata Henry.

Sementara itu, Ketua Majelis Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin menilai, kasus penggusuran, kekerasan, serta kriminalisasi yang terjadi pada petani di Nagari Kapa merupakan potret betapa program reforma agraria timpang. Sebab lebih mendukung izin kepada korporasi ketimbang petani kecil.

“Seharusnya reforma agraria itu melakukan koreksi atas ketimpangan struktur pemilikan, kontrol, dan penggunaan tanah, sehingga masyarakat khususnya petani diberi hak atas tanah,” ujar Iwan, Kamis (10/10).

“Sudah pasti konsesi atas tanah kepada perusahaan harus dikurangi jika sebuah negara melakukan reforma agraria serta memberi prioritas kepada petani kecil dan masyarakat tidak bertanah.”

Iwan berpendapat, pemberian konsesi atas tanah kepada korporasi di tengah rakyat tidak bertanah adalah langkah yang keliru. Karena itu, penggusuran oleh PT. PHP I harus dikoreksi.

“Jika suara petani yang menuntut reforma agraria dan memang hal tersebut adalah amanat konstitusi dan UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) 1960, wajar jika salah satu ekspresinya adalah aksi massa,” kata Iwan.

Dia mengingatkan, jika konflik agraria yang terjadi di banyak tempat tidak kunjung diselesaikan dan reforma agraria tidak kunjung djalankan, maka kemiskinan yang dialami petani akan memburuk.

“Sementara konflik agraria akan terus meningkat. (Presiden terpilih) Prabowo (Subianto) semestinya menjadikan reforma agraria sebagai proyek strategis nasional,” tutur Iwan.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan