close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat DPR sebelum pandemi/Foto Antara
icon caption
Rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat DPR sebelum pandemi/Foto Antara
Peristiwa - Regulasi
Kamis, 22 Agustus 2024 15:55

Konsekuensi DPR "memaksakan" revisi UU Pilkada

“Apa pun maksud dan tujuan DPR, terlihat putusan (langkah) ini menaikkan suhu politik Indonesia.”
swipe

Pengamat politik Ikrar Nusa Bhakti mengingatkan pemerintah dan DPR untuk tunduk pada konstitusi, terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang ambang batas pencalonan partai politik atau gabungan partai politik dalam mengusung pasangan calon kepala daerah dan putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 tentang batas usia minimal calon kepala daerah berusia 30 tahun terhitung sejak pendaftaran.

Jika tidak, kata dia, maka MK bisa menganulir ataupun mengoreksi konstestan pilkada yang bakal berlaga. Menurut dia, MK berkaca pada putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023—yang membuat putra sulung Presiden Joko Widodo atau Jokowi, Gibran Rakabuming Raka lolos menjadi calon wakil presiden—para hakim konstitusi tak mau kecolongan. Putusan MK, terutama nomor 60/2024 juga memperbaiki hiruk-pikuk politik.

Namun, menurut Ikrar, Presiden Jokowi dan Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus yang terdiri dari 12 partai politik, tak ingin terganggu dengan PDI-P yang menjadi oposisi tunggal.

“Ini bukan cuma meniadakan hak konstitusional partai politik, tapi juga menihilkan kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpin daerahnya,” ujar Ikrar kepada Alinea.id, Rabu (21/8).

Selain itu, Ikrar mengingatkan, bila pemerintah dan DPR tetap kukuh mengabaikan konstitusi dengan merevisi UU Pilkada dan menambahkan narasi yang semakin mempersempit ruang gerak PDI-P serta partai politik kecil lainnya, tak ada bedanya dengan Orde Baru. 

Dia menduga, dalam waktu dekat akan ada judicial review terhadap revisi UU Pilkada itu. Pada akhirnya akan diterima MK, dan membuat lembaga tersebut membatalkan keabsahannya. MK sendiri bisa memberikan penilaian kepada DPR karena dianggap telah melanggar konstitusi, yang bisa masuk dalam kategori pelanggaran pidana.

Selain itu, jika terbukti, Presiden Jokowi pun bisa dimakzulkan karena dianggap menyalahgunakan wewenang atau bahkan turut serta dalam skenario itu. Sayangnya, pemakzulan Presiden Jokowi hanya bisa terjadi di DPR. Dan, seperti yang diketahui, pergerakan DPR seakan mengikuti arahan Jokowi dan koalisinya.

Sedangkan partai politik lain yang meninggalkan dukungan terhadap Anies Baswedan di Pilgub Jakarta, kata Ikrar, sudah terlalu takut dan khawatir.

“Sebetulnya, bisa (Jokowi dimakzulkan), cuma semua partai sudah ‘diborong’ Jokowi, tinggal PDI-P saja,” ujar Ikrar.

Menurut Ikrar, sebagai kader PDI-P sekaligus Ketua DPR, Puan Maharani pun tidak dapat berbuat banyak. Bukan hanya karena kalah suara mayoritas, tetapi juga kondisinya “tersandera” secara politik. Mengingat, suaminya, yakni Hapsoro Sukmonohadi diduga terlibat kasus korupsi proyek BTS 4G Bakti Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo).

“Kalau rakyat sudah muak kepada pemimpin atau DPR, jangan lupa ya amukan massa itu bukan mustahil bisa terjadi (seperti tahun) 1998 yang lalu,” ujar dia.

Sementara itu, pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) Indonesia, Ray Rangkuti menilai, langkah DPR menganulir putusan MK didesain tidak untuk jangka panjang. Melainkan hanya demi kebutuhan sepihak peserta Pilkada 2024.

“Lebih khusus lagi demi memenuhi ambisi politik keluarga, kelompok, atau blok politik oligarki,” kata Ray, Rabu (21/8).

Dia melihat, terlalu banyak bolong dari langkah DPR, baik aspek prosedural maupun substansinya. Baginya, DPR terlalu memaksakan, meski mereka sadar akan banyak gugatan. Dia percaya, DPR sudah menghitung semua kemungkinan. Jika nanti MK mengabulkan permohonan uji materi, kata dia, pasti tidak akan berdampak pada proses pencalonan.

“Revisi ini salah satunya mengamankan proses pencalonan agar tetap seperti skenario awal, yang dikehendaki oleh sebagian kelompok,” ujar Ray.

Untuk diketahui, hari ini (22/8) DPR sendiri menunda digelarnya paripurna pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Alasannya karena kuorum tidak terpenuhi. Baleg DPR sebelumnya sepakat revisi UU Pilkada dibawa ke paripurna hari ini. Revisi tersebut disetujui depalan fraksi di DPR, kecuali PDI-P.

“Apa pun maksud dan tujuan DPR, terlihat putusan (langkah) ini menaikkan suhu politik Indonesia,” tutur Ray.

“Berbagai keluhan dan kritikan mulai menjalar. Apa yang terjadi saat ini, sangat vulgar menantang nurani dan akal sehat masyarakat.”

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan