Kontroversi Yoon dan politik "bunuh-membunuh" di Korea Selatan
Parlemen Korea Selatan (Korsel) akhirnya menyepakati pemakzulan Presiden Korsel Yoon Suk Yeol. Tak seperti sebelumnya, para politikus dari Partai Kekuatan Rakyat, partainya Yoon, ikut bergabung mendukung pemakzulan. Yoon dianggap sudah kelewat batas lantaran memberlakukan darurat militer tanpa alasan yang jelas.
"Kepada rakyat Korea, kami harap akhir tahun kalian bisa lebih bahagia dan semua rencana selebrasi yang sebelumnya batal bisa kembali dilaksanakan," ujar juru bicara parlemen Korsel di Seoul, Woo Won-shik, seperti dikutip dari BBC, Sabtu (14/12) lalu.
Yoon baru dua setengah tahun berkuasa. Awal Desember lalu, Yoon tiba-tiba memberlakukan darurat militer di Korsel dan mengeluarkan tentara dari barak. Yoon berdalih ada kelompok anti-negara yang disponsori Korea Utara tengah berupaya mengkudeta pemerintahannya.
Ini kali kedua parlemen menggelar rapat untuk membahas pemakzulan Yoon. Pada 7 Desember lalu, upaya memakzulkan Yoon gagal lantaran jumlah anggota parlemen yang hadir tidak memenuhi kuorum. Partai Kedaulatan Rakyat memboikot rencana pemakzulan itu.
Dari total 300 anggota parlemen, kubu oposisi hanya punya 192 kursi. Supaya pemakzulan bisa dilakukan, minimal dibutuhkan 200 suara. Kali ini, pemakzulan Yoon sukses lantaran ada 12 politikus Partai Kekuatan Rakyat yang membelot.
Meski begitu, Yoon ogah kalah. Yoon menolak mengundurkan diri meskipun citranya sebagai pemimpin tercoreng. "Saya akan menerima kritik, pujian, dan dukungan dengan sepenuh hati dan melakukan yang terbaik untuk negara ini hingga akhir," kata Yoon.
Setelah Yoon dimakzulkan, saat ini pemerintahan interim Korsel dipimpin oleh Perdana Menteri Korsel Han Duck-soo. Namun, kelompok oposisi saat ini juga tengah menimbang untuk memakzulkan Han lantaran dugaan keterlibatannya dalam pemberlakuan darurat militer. Jika Han turut dimakzulkan, deputi perdana menteri di bidang ekonomi bakal bertindak sebagai pelaksana presiden.
Bola rekomendasi pemakzulan oleh DPR Korsel kini di tangan Mahkamah Konstitusi. Dalam jangka waktu 180 hari, Mahkamah harus memutuskan apakah bakal menerima rekomendasi pemakzulan Yoon atau mengembalikan kekuasaan Yoon. Jika Mahkamah setuju pemakzulan atau Yoon mengundurkan diri, maka pemilihan presiden baru harus digelar dalam jangka waktu 60 hari.
Prosesi pemakzulan Yoon di Mahkamah diprediksi tak akan mudah. Saat ini, dari total 9 hakim, hanya ada 6 hakim konstitusi yang sedang bertugas. Tiga posisi lainnya masih kosong. Supaya pemakzulan bisa sukses, setidaknya dibutuhkan persetujuan dari 6 hakim konstitusi. Artinya, Yoon hanya butuh melobi satu hakim untuk menggagalkan pemakzulan.
Parlemen bisa saja menyeleksi dan memilih tiga hakim konstitusi baru. Namun, keputusan final tetap ada di tangan Yoon sebagai presiden. Yoon bisa menunda atau bahkan menolak nama-nama yang diusulkan parlemen sebagai hakim konstitusi yang baru.
Sebelum Yoon, dua presiden Korsel lainnya juga pernah dimakzulkan. Pada 2016, Presiden Korsel Park Geun-hye di-impeach parlemen lantaran terlibat kasus korupsi. Sebanyak 234 anggota parlemen menyepakati pemakzulan Park. Setahun berselang, 8 hakim konstitusi menandatangani rekomendasi pemakzulan Park.
Park terbukti memeras perusahaan-perusahaan besar lewat ajudannya, Choi Soon-sil. Memanfaatkan posisi bosnya sebagai presiden, Choi mengumpulkan duit donasi dari Samsung, Hyundai, SK Group, dan Lotte. Duit itu dialirkan ke dua perusahaan milik Park. Saat ini, Park sudah divonis hukuman penjara selama 24 tahun.
Presiden Korsel lainnya yang pernah dimakzulkan parlemen ialah Roh Moo-hyun. Pada 2004, sekitar setahun setelah menjabat, Roh dimakzulkan parlemen lantaran diduga melanggar regulasi pemilu dan gagal membangkitkan perekonomian Korsel yang tengah terpuruk. Namun, pemakzulan Roh ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.
Meski sukses mempertahankan jabatannya hingga akhir periode, Roh tak bisa kembali mencalonkan diri sebagai presiden karena regulasi kepemiluan tak membolehkannya. Penerus Roh, Chung Dong-Young, gagal memenangi pemilu.
Di luar pemakzulan, skandal hampir selalu mewarnai lembaga eksekutif Korsel. Sejak tahun 1948, tercatat ada tujuh presiden Korsel yang dipidana karena skandal korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia. Ada presiden yang dikudeta dan ada pula yang terbunuh.
Kenapa pemakzulan rutin terjadi di Korea Selatan?
Dalam sebuah analisis yang terbit di Jurnal ISPI, Guido Alberto Casanova merinci sejumlah faktor yang membuat dunia politik di Korsel sangat volatil atau "mudah terbakar". Salah satunya ialah karena sistem kepartaian atau arah kebijakan partai yang sangat berbasis ketokohan.
Kerja sama politik biasanya sangat ditentukan preferensi para pemimpin parpol. Dalam situasi antagonistik, kubu oposisi dan kubu pemerintah hampir tak mungkin bisa berkompromi. Nahasnya, seperti ditunjukkan dalam dua periode terakhir, mayoritas parlemen justru dikuasai kelompok oposisi.
"Taruhannya bisa sangat besat bagi para politikus lantaran persekusi yudisial kerap dijadikan senjata oleh kedua kubu. Ketika lengser, kebanyakan mantan presiden diinvestigasi dan divonis hukum saat musuh politik mereka berkuasa," jelas Guido.
Antagonisme politik Korsel terutama tergambar jelas dalam pertarungan elektoral Lee Jae-myung dan Yoon Suk-yeol. Selama dua tahun menjelang Pilpres Korsel 2022, Partai Demokrat dan Partai Kedaulatan Rakyat saling serang. Lee dan Yoon saling hujat dan terang-terangan saling mendegradasi lawan politik mereka di ruang publik. Hingga pilpres berakhir, keduanya bahkan tak sekalipun pernah bertemu.
"Dalam situasi kompetisi politik saling bunuh di Korsel, Lee dan Yoon takut jika tanpa proteksi yang memadai, musuh-musuh politik akan mengorkestrasi kejatuhan mereka... Mencari kompromi politik kian sulit dan aktivitas parlemen pun berulang kali menemui kebuntuan," tutur Guido.