Ratusan sopir angkutan umum Jak Lingko dari 8 operator menggelar unjuk rasa di depan Balai Kota Jakarta di Jalan Medan Merdeka Selatan, Gambir, Jakarta Pusat, Selasa (30/7). Para mengeluhkan tingkat kesejahteraan mereka dan upah yang belum mencapai UMR provinsi, yakni Rp4,6 juta.
Perwakilan sopir Jak Lingko, Jhon Kenedy meminta agar pemerintah merevisi mekanisme berbasis upah yang berbasis jarak tempuh. Menurut Jhon, target 200 kilometer per hari sulit dicapai para sopir lantaran jalanan di ibu kota selalu macet.
"Satu mobil memiliki dua shift. Ada sopir pagi dan sopir siang. Ternyata, banyak yang belum mencapai target ini, yang berdampak pada upah yang kami terima," kata Jhon kepada wartawan di sela-sela aksi unjuk rasa.
Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono berjanji akan memperhatikan nasib para sopir Jak Lingko. Heru juga meminta kepada operator dan sopir JakLingko yang keberatan dengan mekanisme upah dan izin trayek untuk berkoordinasi dengan Dinas Perhubungan. "Kami pasti akan fasilitasi," ujar Heru.
Pengamat kebijakan publik dari Universtias Trisaksi, Trubus Rahadiansyah menilai mekanisme pengupahan sopir Jak Lingko perlu dikoreksi. Menurut dia, sebaiknya upah sopir diukur dari jumlah penumpang yang bisa dia angkut dalam sehari.
“Jangan jarak tempuh, tapi jumlah penumpang. Prestasinya seberapa banyak mendapatkan penumpang agar sesuai tujuan (pemerintah untuk mendorong masyarakat) tidak menggunakan kendaraan pribadi. Keliru jadinya kalau pakai jarak,” kata Trubus kepada Alinea.id, Jumat (2/8).
Supaya kendaraan tak ngetem, menurut Trubus, Pemprov DKI Jakarta bisa memberlakukan batas waktu menunggu penumpang. Dengan begitu, tak terjadi kemacetan lantaran sopir Jak Lingko berebut penumpang
“Kalau nanti ngetem kan sulit. Soalnya, penumpang Jak Lingko kan tersebar. Nanti, menitnya ditentukan tidak boleh kelamaan seperti maksimal 15-30 menit,” ujarnya.
Selain gaji bulanan, menurut Trubus, kerja keras sopir Jak Lingko juga harus diganjar insentif berupa tunjangan kinerja (tukin). Ia berpendapat pekerjaan sebagai sopir Jak Lingko tergolong berat. Apalagi jika sang sopir beroperasi di jalanan yang rutin macet.
"Bila target penumpang tidak tercapai, misalnya, bonus seperti tukin memang jangan diberikan. Tetapi, bukan berarti gaji mereka dipotong. Pemberian gaji pokok saja bisa dianggap sebagai sanksi," jelas Trubus.
Pengamat transportasi, Djoko Setijowarno berpendapat pemerintah kerap mengeluarkan kebijakan yang kontradiktif dengan niat mendorong masyarakat agar rutin menggunakan kendaraan umum.
Ia mencontohkan pemberian bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi untuk kendaraan pribadi dan program sepeda motor listrik sebagai upaya mengatasi kemacetan. Kedua kebijakan itu justru "menjauhkan" publik dari kendaraan umum.
“Kebijakan ini mendorong warga lebih menggunakan angkutan pribadi ketimbang angkutan umum karena mudahnya mendapatkan BBM,” ucapnya kepada Alinea.id, Kamis (1/8).
Menurut dia, BBM bersubsidi seharusnya hanya dapat diberikan kepada angkutan umum. Agar kebijakan itu bisa jalan, perlu ada sinergi antara Kementerian Perhubungan, Kementerian ESDM dan BUMN terkait.
“Berbagai solusi yang diinisiasi Kemenhub tak akan berjalan efektif jika kementerian lainnya masih setengah hati dalam mengatasi kemacetan,” ujarnya.