close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah dalam salah satu momen kampanye Pilgub Bengkulu 2024. /Foto Instagram @rohidin.mersyah
icon caption
Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah dalam salah satu momen kampanye Pilgub Bengkulu 2024. /Foto Instagram @rohidin.mersyah
Peristiwa
Rabu, 27 November 2024 12:51

Korupnya Rohidin cs: Ada apa dengan Bengkulu?

Sudah empat Gubernur Bengkulu yang berturut-turut tersandung kasus korupsi dan suap.
swipe

Provinsi Bengkulu kembali tenggelam dalam pusaran kasus korupsi setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah. Rohidin diduga menyalahgunakan jabatannya untuk memangkas gaji honorer dan menjalankan politik uang jelang pencoblosan Pilgub Bengkulu 2024. 

Daftar Gubernur Bengkulu yang terjerat kasus korupsi pun bertambah panjang. Tiga pendahulu Rohidin sudah lebih dulu tersandung kasus korupsi, yakni Agusrin Maryono Najamuddin (2005-2012), Junaidi Hamsyah (2012-2015), dan Ridwan Mukti (2016-2017).

Saat menjabat sebagai gubernur, Agusrin menggarong duit penyaluran dan penggunaan dana bagi hasil pajak bumi dan bangunan (PBB) serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) di Bengkulu pada tahun 2005. Negara ditaksir merugi hingga Rp21,3 miliar.

Meneruskan sisa jabatan Agusrin, Junaidi dinyatakan bersalah dalam kasus penerbitan Surat Keputusan Dewan Pembina untuk Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) M Yunus. Ditetapkan dalam SK tersebut, sejumlah pembina periode 2011-2012 mendapatkan honor dengan nilai Rp369,6 juta. SK itu bertentangan dengan peraturan pemerintah.

Adapun Ridwan Mukti terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada 2017.  Bersama istrinya, Ridwan ditetapkan sebagai tersangka kasus suap pembangunan jalan di Bengkulu. Pemberi suap ialah Bendahara DPD Golkar Bengkulu Rico Dian Sari. 

Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman merinci sejumlah faktor yang menyebabkan kepala daerah di Bengkulu rutin jadi tersangka kasus korupsi dan suap. Salah satunya ialah rendahnya tingkat pendidikan masyarakat di Bengkulu. 

"Maka rakyatnya gampang dimanipulasi atau dibodohilah. Kira-kira begitu. Kalau pemimpinnya tidak amanah, gubernurnya tidak amanah, maka mudah terjerumus ke perbuatan-perbuatan korupsi,” kata Boyamin kepada Alinea.id, Selasa (26/11).

Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), Bengkulu berada di jajaran 10 besar provinsi termiskin di Indonesia. Pada 2023, APBD provinsi itu hanya sekitar Rp80 miliar. Bengkulu tidak punya tambang besar atau komoditas pertanian yang bisa jadi andalan penghasilan. 

Minimnya lahan basah di Bengkulu, menurut Boyamin, tercermin dari jenis kasus suap dan korupsi yang menjerat para gubernurnya. Rohidin, misalnya, mengeluarkan kebijakan memangkas gaji guru honorer demi menyiapkan dana untuk menjalankan politik uang jelang pencoblosan. 

Adapun Agusrin "terpaksa" menilep duit yang semestinya disalurkan ke pusat.  "Jadi, justru bukan karena lahan basahnya, tapi karena masyarakatnya juga abai atau cuek, maka pemimpinnya jadi tidak amanah," jelas Boyamin. 

Boyamin menerangkan setidaknya ada tiga modus yang lazim dijalankan dalam kasus korupsi di berbagai daerah. Pertama, kepala daerah menerima setoran dari pejabat untuk memuluskan promosi atau supaya tidak dicopot. Kedua, penerbitan berbagai jenis izin dengan disertai suap. 

"Meskipun ya ada izin tambang sedikitlah, sama perkebunan juga dikit. Ketiga, proyek-proyek. Dugaan manipulasi proyek. Itu yang bisa diambil oleh kepala daerah yang tidak amanah, yang termasuk di Bengkulu. Ketika masyarakatnya itu cuek, ya, tiga hal itu gampang digoreng,” lanjutnya.

Faktor lainnya yang menjadikan Bengkulu rutin memproduksi kepala daerah korup ialah situasi politik yang cenderung adem ayem. Menurut Boyamin, hampir tidak ada oposisi di parlemen lokal Bengkulu sehingga pengawasan terhadap pemerintah daerah lemah. "Oposisi kurang. Beda dengan provinsi-provinsi yang lainnya,” ujarnya.

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Annisa Alfath  mengatakan motif kepala daerah untuk korupsi atau menerima suap umumnya relatif seragam, yakni untuk menyiapkan dana politik uang. Hal serupa juga terjadi di Bengkulu. 

“Ini karena biaya politik yang besar dan biasanya terjadi karena vote buying (untuk membeli suara jelang pencoblosan),” ujar Annisa kepada Alinea.id, Senin (25/11).

Petahana seperti Rohidin cenderung lebih mudah untuk mengakses dana-dana program dan melakukan pemerasan kepada jajaran pegawai di bawahnya. “Karena, posisi strategis mereka dalam pengambilan keputusan dan kebijakan,” ucapnya.
 

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan