close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Antusiasme warga Aceh pulang kampung di Pelabuhan Penyeberangan Meulaboh-Sinabang, Desa Gampong Teugoh, Kecamatan Samatiga Aceh, Barat Senin (30/3/2020)/Foto Antara/Syifa Yulinnas.
icon caption
Antusiasme warga Aceh pulang kampung di Pelabuhan Penyeberangan Meulaboh-Sinabang, Desa Gampong Teugoh, Kecamatan Samatiga Aceh, Barat Senin (30/3/2020)/Foto Antara/Syifa Yulinnas.
Peristiwa
Selasa, 01 April 2025 16:04

"Enggak apa-apa Lebaran di taman, yang penting keluarga aman..."

Diperkirakan ada lebih dari 50 juta warga yang memutuskan tak pulang kampung pada Idul Fitri 2025.
swipe

Nita, 32 tahun, menepikan motor skuternya ke parkiran Taman Puring, Jakarta Selatan, Senin (4/1) petang itu. Robi, putra semata wayangnya yang baru berusia 6 tahun, langsung menghambur ke area pusat taman. Di sana, sudah berkumpul anak-anak lain yang sedang menikmati suguhan air mancur.  

"Dari pinggir jalan tadi, (Robi) udah ngeliat ada air mancur tuh. Langsung maksa pengin ke sini. Ya, udah nepi dulu deh. Biasanya emang suka ke sini. Jadi, dia kalau lewat pasti pengin maen," kata Nita saat berbincang dengan Alinea.id. 

Tahun ini, Nita dan suami memutuskan tak pulang kampung ke Sidoarjo, Jawa Timur. Ia sedang cekak. Apalagi, bisnis suami yang sehari-hari jualan pulsa dan kartu ponsel sedang lesu. Setelah kena PHK tahun lalu, Nita juga belum  bekerja lagi. 

Usai salat Ied tadi pagi, menurut Nita, sang suami kembali "mengorok" di rumah mereka di kawasan Cidodol, Jakarta Barat. Jelang siang, Robi merengek lapar. Ia dan Robi lantas jalan ke luar. Namun, tak ada tempat makan langganan yang buka. 

"Enggak apa-apa Lebaranan di taman, yang penting keluarga sehat-sehat dan aman. Mau bagaimana lagi? Emang tahun ini lagi susah banget, ya. Enggak kayak biasanya. Jualan apa aja banyak yang enggak laku," kata Nita. 

Untuk membantu keuangan keluarga, Nita berjualan takjil sepanjang bulan Ramadan. Namun, Nita merasa duit yang terkumpul belum cukup untuk ongkos pulang kampung. Ketimbang mudik, ia dan suami sepakat untuk sekadar kirim duit ke kampung halaman. 

"Takutnya nganggur lama juga. Kalau kita kerja, kan mending. Pulang kampung bisa pake duit THR. Terus, besok-besoknya masih kan aman ada bulanan (gaji). Kalau enggak kerja tetap, ya, susah mau ngapain juga," tutur Nita. 

Memilih tak mudik tahun ini juga dilakoni Siti Nurhayati, pedagang ayam potong di Ciracas, Jakarta Timur. Ragam alasan diutarakan perempuan berusia 50 tahun itu. Selain karena ongkos pulang kampung yang kian mahal, sang suami juga masih trauma karena kecelakaan saat mudik ke Kendal, Jawa Tengah, Lebaran tahun lalu. 

"Tidak mau mudik, tidak mau nyetir sendiri, tidak mau dia. Nah, sopir (travel) ada, cuma kan, ya, kita harus pakai ongkos juga. Daripada itu, mending tidak usah mudik. Juga di rumah repot. Ada piaraan itu. Kucing,ya. Kasian ditinggal. Ada enam," kata Siti kepada Alinea.id. 

Siti juga memilih tak mudik lantaran dagangannya biasanya laris manis menjelang Lebaran. Selain yang datang langsung ke lapaknya di pasar, Siti juga kebanjiran pesanan secara online. Dari jual 1 kilogram ayam saja, Siti mengaku sudah dapat untung Rp3-Rp5 ribu. 

"Lebaran begini kan mencari kesempatan, mencari duitlah ibaratnya. Orang-orang lagi rame-ramenya langganan, ya... Kalau ditinggal pulang, kan kecewa, sedangkan (pedagang lainnya) kiri-kanan juga banyak yang mudik juga. Kan itu kasihan kita. Paling pulangnya sehabis Lebaran. Kalau sini udah sepi gitu, baru pulang," kata dia. 

Sebagai pelipur lara bagi keluarga di kampung, Siti sudah menyisihkan duit untuk dikirimkan ke mereka. Sehari-hari, ia juga rutin video-call dengan orang tuanya. 

"Kadang kalau kangen banget, ya, suruh ke sini (Jakarta). Mau (jalan) tinggal travel jemput, nyampe. Sekarang mah udah enggak ribet lagi kayak zaman-zaman dulu," ujarnya. 

Jika dibandingkan pada era pandemi Covid-19, Siti mengaku keuangannya jauh lebih stabil. Pelanggan rutin menyambangi dia di pasar. Harga ayam juga tak melonjak tinggi. "Ibaratnya, ada kesimpanan uang. Jadi, bukannya masalah enggak mudiknya karena enggak punya uang," imbuhnya. 

Rafa, 25 tahun, punya situasi serupa. Pegawai di salah satu minimarket di Jakarta Timur, itu sebenarnya punya duit untuk beli tiket pulang ke Jambi. Namun, ia lebih memilih tak pulang kampung demi berhemat dan tak mau ribet.  

"Agak susah juga buat mudik karena kan pasti lebaran tetep masuk. Terus juga, kalau dipikir-pikir, ongkos perjalanan makin mahal karena kan kampung saya di Jambi. Apalagi, kalau macet parah, bisa-bisa waktu di jalan lebih lama daripada waktu di kampung," kata Rafa kepada Alinea.id.   

Secara finansial, Rafa mengaku tak ada perubahan signifikan dari tahun ke tahun. Hanya saja, ia merasa duit gajinya kian sulit diandalkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. 

"Karena harga-harga naik. Duit yang ada rasanya enggak cukup juga. Kalau dulu, dengan budget segini, bisa mudik nyaman. Sekarang harus pinter-pinter atur biar enggak nombok. Jadi, ya, bukannya makin sulit, tapi makin mahal aja semuanya," tutur dia. 

Jika punya kebebasan memilih, Rafa tentu saja ingin pulang kampung dan berkumpul dengan keluarga. Ia juga kangen dengan teman-teman kecilnya. "Suasananya beda aja kalau lagi di kampung. Enaklah pokoknya," ujar dia. 

Cerita Anita, Siti, dan Rafa tak "spesial." Hasil survei yang dilakoni Badan Kebijakan Transportasi Kementerian Perhubungan, Badan Pusat Statistik (BPS) dan akademisi menemukan jumlah pemudik pada Lebaran 2025 diperkirakan hanya sekitar 146,48 juta orang.

Angka itu turun sekitar 24% jika dibandingkan tahun lalu. Setidaknya ada 50 juta orang yang memutuskan tak pulang kampung tahun ini. Faktor ekonomi jadi alasan utama mereka memilih tak menjalani tradisi tahunan itu.

 

img
Nofal Habibillah
Reporter
img
Adityia Ramadhani
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan