Legalisasi aborsi adalah jawaban atas doa korban kekerasan seksual
Presiden Joko Widodo (Jokowi) meneken Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Di antara lainnya, beleid itu mengatur rinci prosedur aborsi yang legal bagi korban rudapaksa atau kejahatan seksual lainnya.
Pasal 116 pada PP itu berbunyi, "Setiap orang dilarang melakukan aborsi, kecuali atas indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan sesuai dengan ketentuan dalam kitab undang-undang hukum pidana."
Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi menilai PP no. 28/2024 merupakan angin segar bagi kaum perempuan yang jadi korban kekerasan seksual. Aborsi dilarang oleh Undang-Undang No.1 tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
“Ketentuan ini (KUHP) tidak berlaku dalam hal perempuan merupakan korban pemerkosaan dan kekerasan seksual,” kata Siti kepada Alinea.id, Kamis (1/8).
Legalisasi aborsi untuk korban kekerasan seksual, menurut Siti, penting lantaran tingginya angka aborsi di Indonesia. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), misalnya, memperkirakan kasus aborsi mencapai 2,4 juta jiwa setiap tahun. "Sekitar 800.000 kasus aborsi terjadi pada kelompok usia remaja," jelas Siti.
Di lain sisi, Kementerian Kesehatan menemukan 4,1% dari semua angka kematian ibu di Indonesia berkaitan dengan komplikasi akibat keguguran termasuk aborsi yang tidak aman. Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) memperkirakan sekitar 11-30% angka kematian ibu (AKI) di Indonesia disebabkan oleh aborsi yang tidak aman.
Data Survei Antar Sensus (SUPAS) tahun 2015 menunjukkan tingkat AKI di Indonesia 305 per 100.000 kelahiran hidup. Padahal, target Sustainable Development Goals (SDGs) tahun 2030 menurunkan AKI hingga 70 per 100.000 kelahiran hidup.
"Jaminan hukum untuk mengecualikan larangan aborsi bagi korban kekerasan seksual adalah penting," kata Siti.
Siti menjelaskan PP 28/2024 menguatkan aturan-aturan yang sudah berlaku sebelumnya. Ia mencontohkan hak atas pemulihan kesehatan dan penguatan psikologis yang diatur pada Pasal 70 UU No. 12 tahun tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan PP 28/2024.
Tak kalah penting, menurut Siti, ialah rincian prosedur dan orang-orang yang berhak menjalankan aborsi. Pada pasal 118 (b) PP 28/2024 tertulis bahwa pelaksanaan aborsi harus disertai keterangan penyidik mengenai dugaan perkosaan atau kekerasan seksual yang berakibat kehamilan.
Adapun pada pasal 119 PP yang sama ditekankan bahwa pelaksanaan aborsi hanya dapat dilakukan pada fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjut yang sumber daya kesehatannya sesuai dengan ketetapan Menteri Kesehatan.
"Misalnya, dengan pembuktian surat keterangan dokter dan penyidik. Mereka akan membuktikan bahwa kehamilan itu adalah hasil tindak pemerkosaan atau kejahatan seksual," jelas Siti.
Tidak kalah penting ialah adanya pendampingan konseling bagi korban. Diharapkan korban bisa berubah pikiran dan memilih tak menggugurkan kandungannya. "Jika sang anak tidak mampu diasuh oleh ibu, maka wajib dipelihara oleh negara," kata Siti.
Pakar kebijakan publik, Achmad Nur Hidayat menilai kebijakan legalisasi aborsi tepat karena memberikan perlindungan yang sangat dibutuhkan bagi korban yang sering kali menghadapi trauma psikologis dan fisik.
Menurutnya, kebijakan ini menghormati hak korban untuk membuat keputusan yang terbaik bagi kesehatan dan kesejahteraan mereka. Legaliasi aborsi membantu mengurangi risiko komplikasi kesehatan yang serius akibat pengguguran kandungan secara ilegal yang tidak aman.
“Dengan menyediakan prosedur yang aman dan legal, kebijakan ini juga mencegah kehamilan yang tidak diinginkan yang dapat memperburuk trauma yang dialami korban,” katanya kepada Alinea.id, Kamis (1/8).
Meskipun aturan yang ada sudah mencukupi, Achmad menyebut, implementasi dan penyediaan izin untuk klinik khusus aborsi masih sulit dijangkau oleh sebagian besar masyarakat. Namun, aborsi tidak boleh terlalu dimudahkan sebagaimana di negara-negara Barat.
Sayangnya, kebijakan ini berpotensi menghadapi resistensi dari kelompok-kelompok yang memegang pandangan moral dan agama yang konservatif. Tidak ketinggalan, ada potensi penyalahgunaan jika tidak ada verifikasi dan pengawasan yang ketat.
Achmad menyarankan agar pemerintah membuka layanan khusus aborsi bagi korban pelecehan seksual. Layanan khusus ini akan memastikan aborsi dilakukan di fasilitas yang memenuhi standar kesehatan dan keamanan dengan tenaga medis yang terlatih, menyediakan dukungan psikologis dan sosial bagi korban, serta mencegah penyalahgunaan kebijakan.
“Dengan demikian, kebijakan ini dapat memberikan manfaat maksimal sambil mengurangi risiko dan kontroversi yang mungkin timbul, berkontribusi pada perlindungan kesehatan dan keadilan sosial di Indonesia,” ungkapnya.