close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi pertemuan Donald Trump dan Vladimir Putin./ Antarafoto
icon caption
Ilustrasi pertemuan Donald Trump dan Vladimir Putin./ Antarafoto
Peristiwa
Jumat, 31 Januari 2025 12:17

Mampukah Trump mengakhiri perang Rusia-Ukraina?

Trump mesti menjalankan diplomasi koersif untuk memaksa Putin ke meja perundingan.
swipe

Tak lama setelah dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) pada pertengahan Januari lalu, Donald Trump kembali melontarkan ancaman terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin. Ia menuntut Putin untuk segera menghentikan perang "konyol" antara Rusia dan Ukraina. 

Trump mengklaim memberikan "pertolongan besar" dengan memaksa Rusia segera mengakhiri konflik. Ia menjanjikan hukuman berat jika Putin menolak hadir di meja perundingan.

"Berdamai sekarang dan akhiri perang konyol ini. Ini hanya akan bertambah buruk. Jika kita tak mencapai kesepakatan segera, saya tak punya pilihan lain selain menetapkan pajak, tarif, dan sanksi untuk apa pun yang dijual Rusia ke AS," tulis Trump di akun Truth Social miliknya.

Perang Rusia-Ukraina menjadi salah satu materi kampanye Trump di Pilpres AS 2024. Trump sesumbar perang itu tak akan meletus jika ia masih jadi Presiden AS. Ia juga menjanjikan mengakhiri perang dalam sehari jika terpilih jadi presiden.

Sebelumnya, Trump mengatakan akan segera menghubungi Putin untuk membicarakan akhir perang Rusia-Ukraina. Namun, ia belum bisa memastikan kapan pembicaraan itu bakal digelar. 

Kurt Volker, mantan perwakilan Trump untuk Ukraina, mengatakan ancaman Trump kali ini serius. Rusia, kata dia, harus bersiap menghadapi serangkaian sanksi ekonomi jika tak mau merundingkan penghentian konflik.  

"Kita harus mendorong Putin untuk mengatakan, 'Oke, ini waktunya untuk gencatan senjata," kata Volker dalam wawancara dengan Radio BBC. 

Kremlin merespons ancaman Trump dengan santai. Juru bicara pemerintahan Rusia, Dmitry Peskov mengatakan Putin tengah menunggu sinyal untuk berkomunikasi dengan Trump terkait nasib Ukraina. 

"Dia (Trump) suka metode (ancaman) ini. Setidaknya, dia menyukai hal semacam itu saat pemerintahannya terdahulu," ujar Peskov. 

Perang antara Rusia dan Ukraina telah berlangsung hampir tiga tahun. Setidaknya 500.000-750.000 orang--baik prajurit maupun warga sipil-- tewas dan terluka karena perang tersebut. Jutaan orang mengungsi karena terdampak konflik. 

Saat ini, Rusia diperkirakan menguasai sekitar 20% wilayah Ukraina. Daerah yang diduduki pasukan Rusia, di antaranya Semenanjung Krimea, sebagian wilayah Donetsk, Kharkiv, Kherson, Luhansk, Mykolayiv, dan Zaporizhzhya. 

Presiden Ukrainia Volodymyr Zelensky mengatakan dibutuhkan setidaknya 200 ribu pasukan penjaga perdamaian untuk memastikan kesepakatan damai macam apa pun yang dicapai antara Rusia dan Ukraina tak dilanggar. Militer AS harus menjadi bagian dari pasukan perdamaian itu. 

"Itu (perdamaian) tak mungkin terjadi tanpa Amerika Serikat... Bahkan jika sebagian negara Eropa meyakini gencatan senjata bisa tercapai (tanpa AS), tidak, itu tak mungkin terjadi," kata Zelensky seperti dikutip dari Bloomberg.

Awal Januari lalu, Putin sesumbar perang di Ukraina bakal berakhir dengan kemenangan Rusia jika negara-negara Barat berhenti menyuplai Ukraina dengan duit dan peluru. "Ini akan berakhir paling lama dalam sebulan atau sebulan setengah," kata Putin. 

Diplomasi koersif 

Peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS) Sean Monaghan mengakhiri perang di Ukraina tak bisa disamakan dengan mengunci kesepakatan bisnis. AS, kata dia, harus menjalankan diplomasi koersif saat bernegosiasi dengan Putin. 

Mengutip Art of the Deal, but Forceful Persuasion: Coercive Diplomacy as an Alternative to War karya Alexander L. George, Monaghan mendefinisikan diplomasi koersif sebagai ancaman penggunaan kekuatan sebagai untuk merestorasi perdamaian. 

Setidaknya ada tiga strategi yang bisa dijalankan Trump. Pertama, try and see. Kedua, turning off the screw atau memperberat sanksi. Terakhir, ultimatum. Pada strategi pertama, Trump atau negara-negara terkait bisa mengeluarkan serangkaian tuntutan untuk memancing respons Rusia. 

Pada tahap kedua, negara-negara Barat memperketat sanksi sebagaimana sudah dilakukan sejak awal invasi Rusia ke Ukraina. "Usaha ini telah menyebabkan Rusia 'kesakitan', tapi belum berhasil mendorong Putin ke meja perundingan," jelas Monaghan. 

Pada tahap terakhir, negara-negara Barat harus berani memberikan deadline kepada Putin untuk mengakhiri konflik. Batas waktu itu, kata Monaghan, harus spesifik. "Tetapi, sejak 2022, pemimpin negara Barat tak mampu mengeluarkan ultimatum yang kredibel bagi Rusia," kata dia. 

Kehadiran Trump, lanjut Monaghan, bisa mengubah situasi secara dramatis. Terlebih, Trump dilantik saat perang Rusia-Ukraina "mandek". Perekonomian Rusia terus terpukul dan Putin kewalahan untuk membiayai perang yang telah menewaskan ratusan ribu prajurit Rusia. 

Di lain sisi, Ukraina juga tak punya pilihan selain menerima kesepakatan damai. Saat ini, Ukraina sangat bergantung pada bantuan AS untuk melanjutkan perang. 

"Jika Trump memainkan kartunya dengan baik, kesepakatan damai terbesar abad ini mungkin ada dalam jangkauan," ujar Monaghan. 


 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan