close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkunjung ke Pasar Rakyat Kefamenanu, Kabupaten Timur Tengah Utara, NTT, Oktober 2024. /Foto dok. Biro Setpres
icon caption
Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkunjung ke Pasar Rakyat Kefamenanu, Kabupaten Timur Tengah Utara, NTT, Oktober 2024. /Foto dok. Biro Setpres
Peristiwa
Kamis, 17 Oktober 2024 12:05

Menaksir capaian Indonesia Sentris ala Jokowi

Jokowi terlalu fokus pada pembangunan infrastruktur. Upaya membangun kemandirian daerah justru terabaikan.
swipe

Pembangunan Indonesia sentris menjadi janji Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak periode pertama pemerintahannya. Saat kembali berkuasa pada periode 2019-2024, Jokowi juga berjanji melanjutnkan konsep Indonesia Sentris. Tujuan pembangunan Indonesia Sentris adalah untuk pemerataan pembangunan yang selama ini terpusat di Pulau Jawa.

Pembangunan Indonesia Sentris diterjemahkan Jokowi dengan membangun dari pinggiran. Konsep membangun dari pinggiran diperlihatkan dengan membangun infrastruktur jalan di desa-desa di seluruh belahan Indonesia. Selama 10 tahun terakhir, sekitar 366.000 kilometer jalan desa telah dibangun, yang menurut Jokowi, realitas itu tidak dipercaya banyak orang.

Dalam 10 tahun terakhir, pemerintahan Jokowi juga membangun 6.800 embung, 14.700 pasar desa, dan 46.000 posyandu. Di bawah komando Jokowi, pemerintah juga membangun 26 bandara baru, 25 pelabuhan baru, 53 bendungan baru dengan jaringan irigasi seluas 1,2 juta hektare, dan perbaikan 164 pelabuhan baru.

Berdasarkan data Kantor Staf Presiden (KSP), pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi sudah membangun jembatan dengan panjang 122.198 meter sepanjang tahun 2015-2023. Rinciannya, sepanjang 58.002 meter dibangun pada 2015-2019 dan sepanjang 64.195 meter dibangun pada 2020-2023.

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD),
Herman N Suparman menilai pembangunan bermodel Indonesia Sentris pada era Jokowi tak sepenuhnya sukses. Jokowi, kata dia, lebih condong pada pembangunan infrastruktur, tetapi kurang memperhatikan upaya-upaya meningkatkan kemandirian daerah.

"Pertanyaannya adalah apakah itu berpengaruh pada kesejahteraan? Menurut kami, itu baru bisa kita lihat dalam lima atau sepuluh tahun ke depan. Tetapi, kalau kita bandingan satu daerah dengan daerah lain itu sebetulnya kurang lebih sama. Dalam artian, Papua, Papua Barat, NTT (Nusa Tenggara Timur) itu tetap di posisi terbawah sebetulnya," kata Herman kepada Alinea.id, Rabu (16/10).

Herman merasa pembangunan dari pinggiran tidak serta-merta mampu mengakselerasi peningkatan kesejahteraan, pendapatan, dan kualitas kesehatan di daerah. Reformasi birokrasi dan penderhanaan regulasi yang diupayakan Jokowi di bidang perizinan usaha masih belum efektif dan efisien.

"Dari kajian KPPOD, memang Pak Jokowi mencoba mereformasi pelayanan publik di bidang perizinan berusaha. Tapi, yang kita lihat reformasi dan regulasi yang dilakukan itu belum menciptakan perubahan yang fundamental, terutama terkait belum bisa mengungkap soal tumpang tindih antara peraturan satu dengan peraturan lain. Belum menyelesaikan obesitas regulasi," kata Herman. 

Herman menilai Undang-Undang Cipta Kerja merupakan salah satu biang keladi pemerintah daerah tidak bisa mengeluarkan perizinan usaha secara cepat. UU Cipta Kerja yang semula ingin menyelesaikan masalah obesitas regulasi, kata Herman, pada praktiknya melahirkan banyak peraturan turunan yang justru menghambat kemudahan perizinan.

"Jadi, pemerintahan Jokowi belum optimal dari sisi peningkatan pelayanan publik. Kemudian catatan kedua adalah soal partisipasi publik. Partisipasi publik dalam perencanaan, dan penyusunan kebijakan itu rendah," imbuh Herman.

Partisipasi publik yang rendah dalam penyusunan kebijakan, lanjut Herman, gamblang terlihat dalam konflik yang muncul pada sejumlah proyek strategis nasional (PSN) yang digagas Jokowi, semisal pembangunan bendungan di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah dan proyek Rempang Eco City di Batam. 

"Menurut kami, itu harus jadi perhatian untuk pemerintahan daerah ke depan. Kemudian, yang berikutnya, adalah keterlibatan daerah. Kalau memang niat ingin membangun dari pinggiran, apalagi kalau bicara kepastian hukum, itu lain lagi ceritanya. Itu bisa menjadi rapor merah yang cukup besar bagi Jokowi," kata Herman.  

Peneliti Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Galuh Syahbana Indraprahasta sepakat Jokowi terlalu fokus pada pembangunan infrastruktur dalam membangun daerah pinggiran. Asumsinya, pembangunan infrastruktur bakal berefek pada peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah. 

"Flagship pembangunan nasional di era pak Jokowi adalah PSN, infrastruktur, seperti juga tersurat di Undang-Undang Cipta Kerja. Begitupun dengan adanya dana desa (terutama dengan Undang- Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 yang drevisi terkahir UU 3/2024) yang menggiatkan pembangunan infrastruktur di desa," kata Galuh kepada Alinea.id. 

Meskipun cukup sukses membangun infrastruktur, capaian di bidang pembangunan sumber daya manusia cenderung beragam. Indeks pembanguan manusia (IPM), misalnya, menunjukkan tren kenaikan. Selama periode 2020-2023, IPM Indonesia tumbuh positif. Pada, 2023 mencapai 0,84 persen. 

Pertumbuhan tersebut jauh melampaui pertumbuhan IPM tahun 2021 yang tumbuh sebesar 0,48 persen. Pertumbuhan IPM pada tahun 2023 utamanya didorong oleh pemulihan pertumbuhan dimensi standar hidup layak yang diwakili oleh variabel pengeluaran riil per kapita yang disesuaikan. Rata-rata pertumbuhan pengeluaran riil per kapita selama tahun 2020-2023 mencapai 2,61 persen. 

Akan tetapi, skor literasi PISA Indonesia menunjukan penurunan. Skor PISA Indonesia dalam literasi membaca turun 12 poin dari 371 di 2018 menjadi 359 di 2022. Serupa, skor literasi matematika turun dari 379 di tahun 2018 menjadi 366 di tahun 2022. Pada literasi sains, skor PISA juga mengalami penurunan. Terdapat penurunan 12 poin dari tahun 2018 dari 396 menjadi 359 di 2022.

"Sementara terkait kesejahteraan, bisa didekati dengan kombinasi kemiskinan, pengangguran, ketimpangan (gini). Di sini kemiskinan memang turun, tapi indikator kemiskinannya berdasarkan konsumsi atau pengeluaran, bukan pendapatan. Ini terbantu dengan anggaran kemiskinan dari pusat yang generous," kata Galuh. 

Merujuk pada kajian terbaru Celios, Galuh mengatakan ada potensi ketimpangan vertikal naik. Artinya, berkah pertumbuhan ekonomi cenderung hanya dinikmati masyarakat kelas atas. Yang miskin tetap miskin atau bahkan bertambang miskin. Ada pula masyarakat kelas menengah yang turun kelas menjadi warga miskin. 

"Ke depan, saya pikir, aspek manusianya dan ketenagakerjaan perlu lebih dipikirkan, ya, karena fenomena kelas menengah yang turun itu mengindikasi pertumbuhan ekonomi yang tidak inklusif dan tidak menciptakan lapangan kerja formal," kata Galuh.

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan