close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Petugas menghentikan aksi kapal yang diduga melakukan kegiatan penambangan pasir ilegal di perairai Pulau Rupat, Kepulauan Riau pada Februari 2022./Foto kkp.go.id
icon caption
Petugas menghentikan aksi kapal yang diduga melakukan kegiatan penambangan pasir ilegal di perairai Pulau Rupat, Kepulauan Riau pada Februari 2022./Foto kkp.go.id
Peristiwa
Sabtu, 06 Juli 2024 06:05

Menangkal eksploitasi pasir laut ilegal

Beberapa tahun belakangan, penambangan pasir laut ilegal marak terjadi, terutama di pulau-pulau kecil.
swipe

Kapal Negara (KN) Bintang Laut-401 milik Badan Keamanan Laut (Bakamla) mengamankan tiga kapal milik perkumpulan Rezeki Anak Melayu (RAM)—yang merupakan perusahaan tambang—antara lain Kapal Motor (KM) Nurul Yakin Baru, KM Cinta Damai, dan KM Hary di perairan Pulau Babi, Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau pada Jumat (28/6).

KM Nurul Yakin Baru merupakan kapal isap pasir, sedangkan KM Cinta Damai dan KM Hary adalah kapal angkut. Ketika dilakukan pemeriksaan, KM Cinta Damai mengangkut 30 ton pasir laut.

Beberapa tahun terakhir, aktivitas penambangan pasir laut ilegal begitu masif. Misalnya, aksi menyedot pasir laut ilegal di perairan Meral, Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau yang digagalkan Direktorat Polisi Perairan dan Udara (Ditpolairud) Polda Kepulauan Riau pada Rabu (1/5).

Kemudian, pada April lalu Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyegel satu unit kapal pengeruk pasir laut, Trailing Suction Hopper Dredger (TSHD) Sorong, yang beroperasi di Pelabuhan Umum Kawasan Industri Lamongan Paciran, Lamongan, Jawa Timur.

Lalu, sebelumnya pada Oktober 2023, Ditjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP menghentikan aktivitas satu unit kapal isap pasir laut tanpa dilengkapi dokumen persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut (PPKPRL) di perairan Pulau Tunda, Banten.

Contoh lainnya, kapal isap pasir laut ilegal ditambatkan di samping kapal KKP di Pelabuhan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Purnama Dumai, Kota Dumai, Riau pada 13 September 2023 karena sebelumnya, dua kapal pengangkut pasir ilegal tersebut diamankan kapal pengawas kelautan dan perianan Hiu 01 di perairan Rupat Bengkalis.

Praktik penambangan pasir laut ilegal menjadi ancaman lingkungan pulau-pulau kecil di perairan beberapa daerah. Misalnya saja, kegiatan penambangan pasir laut menyebabkan penyusutan garis pantai, abrasi, dan hilangnya kawasan mangrove di Pulau Morotai, Maluku Utara.

Kawasan Pantai Bayawak, Desa Cidadap, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat juga terancam rusak karena masifnya penambangan pasir laut sejumlah oknum yang telah berlangsung beberapa tahun.

Pesisir Pantai Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara pun rusak akibat penambangan pasir laut ilegal. Imbasnya, garis pantai bergeser sekitar 60 meter.

Praktik penambangan pasir laut ilegal terjadi karena pemerintah membuka moratorium penambangan pasir laut atau sedimentasi laut lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.

Aturan ini mengizinkan perusahaan tambang menambang pasir laut. Namun, diwajibkan terlebih dahulu mengurus dokumen PPKPRL dari KKP, sebelum melakukan aktivitas menambang. Selain itu, pemerintah juga menentukan lokasi yang boleh ditambang. Akan tetapi, yang terjadi di lapangan, penambangan pasir laut ilegal menyasar pulau-pulau kecil.

Diketahui PP 26/2023 ditandatangani Presiden Joko Widodo atau Jokowi pada 15 Mei 2023. Tujuannya, untuk membuka keran ekspor pasir laut. Padahal, di masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, lewat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 117/MPP/Kep/2/2003 aktivitas ekspor pasir laut dihentikan sementara.

Menurut Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Parid Ridwanuddin, praktik penambangan pasir laut ilegal terjadi lantaran perusahaan tambang “main mata” dengan pemerintah setempat di pulau-pulau kecil. Ditambah PP 26/2023 yang membuka ekspor pasir laut, memperburuk praktik tersebut. Sebab, nilai ekonomi yang tinggi membuat banyak pengusaha tambang ingin secara leluasa menambang pasir laut.

Parid menyebut, dalam Pasal 73 huruf d Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil disebut, melarang melakukan penambangan pasir sebagaimana yang dimaksud pasal 35 huruf i. Pasal 35 huruf i sendiri berbunyi, melarang melakukan penambangan pasir pada wilayah yang secara teknis, ekologis, sosial, dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan, pencemaran lingkungan, dan/atau merugikan masyarakat sekitar.

Oleh karena dampak kerusakan lingkungan yang diakibatkan penambangan pasir laut ilegal sangat besar, semisal bisa membuat ekosistem perikanan rusak dan pulau kecil tenggelam, Parid berpendapat, sebaiknya PP 26/2023 dibatalkan.

“Padahal, UU Nomor 27 Tahun 2007 bertujuan untuk melindungi dan mengkonservasi pesisir dan pulau-pulau kecil,” ucap Parid kepada Alinea.id, Kamis (4/7).

Menurut Parid, praktik penambangan pasir laut ilegal yang kian masif perlu direspons melalui patroli dari PSDKP KKP. “Kami sering sekali, saat di lapangan itu, yang berhadapan dengan penambang ilegal pasir laut PSDKP KKP,” tutur Parid.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep) Bisman Bakhtiar menilai, masalah penambangan pasir laut ilegal juga berakar dari permainan sederet aturan yang bermotif ganda: konservasi dan eksploitasi.

“Ada dua kebijakan tentang pasir laut, yaitu sebagai barang tambang di lokasi wilayah pertambangan maka legalitasnya dengan IUP (izin usaha pertambangan) oleh Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral),” kata Bisman, Kamis (4/7).

“Selain itu, pasir laut sebagai sedimen di lokasi pembersihan sedimen yang ditentukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, yang perizinannya di KKP. Jadi, ini juga masalah karena di lapangan sulit mengetahui apakah tambang atau sedimen.”

Bisman mengatakan, praktik penambangan pasir laut ilegal sulit dibendung lantaran pemerintah turut membentuk pasir laut menjadi komoditas ekspor. Akibatnya, para penambang, baik yang legal maupun ilegal, berlomba-lombang mengeruk pasir laut.

“Nilai ekonomi (pasir laut) tinggi, permintaan ekspor berapapun volumenya, ada yang ambil,” ujar Bisman.

“Praktiknya di tengah laut, sulit dipantau. Ada juga melibatkan aparat tertentu.”

Di samping merusak lingkungan dan berpotensi menenggelamkan pulau, kata Bisman, penambangan pasir laut ilegal bisa berdampak pada aspek pertahanan karena dapat memengaruhi batas wilayah negara.

“Tindakan yang perlu (dilakukan) adalah penegakan hukum. Aparat kita mampu dan sebenarnya juga lumayan cukup peralatannya,” ucap Bisman.

“Secara aturan, keran ekspor belum dibuka, tetapi faktanya ekspor ilegal ada.”

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan