Pembahasan revisi Undang-Undang (UU) TNI, Polri, dan Mahkamah Konstitusi (MK) di DPR masih belum ada kejelasan. Padahal, rencana revisi UU tadi sudah mulai dibahas sejak DPR periode 2019-2024.
Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Nicky Fahrizal menyayangkan pembahasan revisi UU tersebut belum selesai hingga kini. Namun, dia mengingatkan, kelak pembahasannya berjalan dengan ekosistem pembentukan hukum yang baik. Terutama melibatkan partisipasi publik dan tidak bertentangan dengan konstitusi.
“Mengapa demikian saya katakan? Karena ini adalah refleksi dari lima tahun sebelumnya. Maka saya perlu mengingatkan kembali bahwa praktik-praktik yang memang kurang tepat, jangan lagi diulang,” kata Nicky dalam diskusi daring bertajuk “Merespons Kabinet Prabowo-Gibran: Implikasi, Risiko, dan Masukan”, Jumat (25/10).
Nicky juga menjelaskan, setelah itu pemerintahan Prabowo Subianto harus melanjutkan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi yang serius. Apalagi dengan integrasi antarlembaga penegak hukum itu, bisa dikembangkan hingga berbagai kementerian.
“Oleh sebab itu, perlu penyempurnaan strategi pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi secara sistematis, proporsional, terukur, dan tepat sasaran,” ujar dia.
Sementara itu, pengamat militer dan intelijen Susaningtyas Nefo Handayani Kertapati meyakini DPR akan melanjutkan pembahasan revisi UU tersebut. Terlebih revisi UU TNI dan Polri yang bertujuan mengantisipasi berbagai bentuk ancaman dan tindak pidana sebagai efek negatif kemajuan teknologi.
Apalagi, katanya, pelanggaran kedaulatan di ruang siber dan ruang angkasa sangat mendesak untuk segera diatasi. Dengan kompleksitas tugas TNI dan Polri di ruang darat, laut, udara ditambah ruang siber dan angkasa, ujar Susaningtyas, maka prajurit TNI dan Polri dapat bertugas di lingkungan kementerian dan lembaga sesuai kebutuhan. Menurut dia, banyak isu yang harus dibahas dalam revisi UU TNI, bukan cuma persoalan kesejahteraan prajurit.
“Sangat wajar jika usia pensiun prajurit TNI dan Polri diperpanjang sesuai potensi dan proyeksi penugasannya,” katanya kepada Alinea.id, Minggu, (27/10).
Bagi Susaningtyas, penugasan prajurit TNI di lingkungan kementerian dan lembaga sejalan dengan permintaan kebutuhan. Dia menilai, hal itu berbeda dengan dwifungsi ABRI, yang tujuannya menduduki jabatan politik.
Selain itu, perpanjangan masa dinas panglima TNI dan kepala staf TNI, menurutnya, diupayakan lebih konsisten dengan periode waktu. Minimal tiga atau lima tahun, mengikuti masa bakti kabinet pemerintahan. Tujuannya, supaya kinerja mereka dapat lebih efektif dan efisien.
“Penugasan prajurit TNI dan Polri di berbagai instansi pemerintah justru menunjukkan tidak ada dikotomi dalam pembangunan nasional,” ujarnya.
Lebih baik lagi, jika menyiapkan kandidat minimal 10 tahun sebelumnya, sehingga pola pergantian dari ketiga matra dalam TNI dapat berjalan dengan konsisten.
“Pola pergantian demikian, tentu membutuhkan usia pensiun yang lebih tertata, memenuhi kelengkapan tour of duty dan tour of area sekaligus keseimbangan antara masa dinas dalam pangkat dan masa dinas perwira,” tutur dia.