close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi sidang paripurna DPR RI. /Foto Antara
icon caption
Ilustrasi sidang paripurna DPR RI. /Foto Antara
Peristiwa - Regulasi
Kamis, 22 Agustus 2024 12:10

“Mengakali” putusan MK yang progresif

MK sudah mengeluarkan putusan tentang ambang batas pencalonan kepala daerah dan batas minimal calon kepala daerah.
swipe

Beberapa hari lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan Nomor 60/PUU/XII/2024, yang mengubah ambang batas pencalonan partai politik atau gabungan partai politik untuk mengusung pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah dan putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024, yang menegaskan batas usia minimal calon kepala daerah berusia 30 tahun terhitung sejak pendaftaran.

Awalnya ambang batas pencalonan disebutkan, didukung minimal 20% partai politik pemilik kursi di DPRD. Lalu, berdasarkan putusan MK Nomor 60/PUU/XII/2024, ambang batas itu diubah menjadi didukung partai politik dengan perolehan suara antara 6,5% hingga 10% dari total suara sah. Angka persentase dukungan partai politik ini disesuaikan dengan jumlah penduduk di provinsi maupun kabupaten/kota.

Sedangkan putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 mengugurkan tafsir putusan Mahkamah Agung (MA) sebelumnya, yang menyebut batas usia dihitung sejak pasangan calon terpilih dilantik.

Namun, Badan Legislasi (Baleg) DPR diduga menyiasati keputusan MK tersebut lewat revisi Undang-Undang (UU) Pilkada dengan tergesa-gesa. Dalam perubahan Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada, panitia kerja (panja) Baleg DPR merumuskan batas usia calon gubernur dan wakil gubernur minimal 30 tahun, terhitung sejak pelantikan pasangan terpilih.

Selanjutnya, rumusan panja Baleg DPR terhadap Pasal 40 UU Pilkada mengatur ambang batas pencalonan sebesar 6,5% hingga 10% suara sah hanya berlaku bagi partai politik non-kursi di DPRD. Sementara ambang batas pencalonan bagi partai politik pemilik kursi di DPRD sebesar 20% dari jumlah kursi di dewan atau 25% dari perolehan suara sah.

Dosen hukum tata negara Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Aji Muhammad Idris, Samarinda, Suwardi Sagama menilai, MK yang diketuai Suhartoyo sudah sangat progresif dan berani melakukan terobosan untuk publik. Sayangnya, putusan MK itu diamputasi sebagian besar fraksi di Baleg DPR.

“DPR semestinya menjalankan apa yang sudah diterangkan oleh MK. Apalagi sudah ditegaskan dalam putusan MK tersebut, apabila tetap ‘memaksa’ dicalonkan yang tidak sesuai dengan putusan MK, maka berpotensi akan dinyatakan tidak sah oleh Mahkamah,” ujar Suwardi kepada Alinea.id, Rabu (21/8).

Suwardi merasa, putusan MK tidak bisa disabotase dengan cara Baleg DPR merujuk pada keputusan MA. Soalnya, pembahasan undang-undang sejatinya selaras dengan putusan MK, bukan mengikuti peraturan di bawah undang-undang.

“DPR harus menjadi contoh bagi rakyat yang memilih, menjalankan tugas dan fungsi sesuai yang termaktub dalam konstitusi,” ucap Suwardi.

Menurut Suwardi, putusan MA berasal dari pengujian Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020 terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015. Sedangkan MK menegaskan persoalan pada usia dalam putusan MK Nomor 70 Tahun 2024 yang menguji Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang konstitusi.

Maka, kata dia, siasat Baleg DPR yang lebih merujuk putusan MA sangat merugikan masyarakat. Padahal, semestinya elite politik memberikan edukasi politik yang baik untuk masyarakat.

Sementara itu, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Ni’matul Huda memandang, dua putusan MK yang progresif menandakan lembaga tesebut telah memulihkan marwahnya, dengan mencegah praktik “kartel” politik borong dukungan partai politik.

“Keterpurukan MK pada musim Pemilu 2024 kemarin, dengan dua putusan tersebut, ternyata mampu mengembalikan kepercayaan publik bahwa MK sudah ‘hidup kembali’ dan berani bersikap kritis terhadap kondisi bangsa yang carut-marut dari sisi hukum demokrasi,” ucap Ni’matul, Rabu (21/8).

Ni’matul menilai, Baleg DPR harus mematuhi putusan MK. “Sebab, kita sudah memilih negara hukum dan konstitusi sebagai pedoman dalam berbangsa dan bernegara, maka daulat rakyat harus dijaga dan diwujudkan,” tutur dia.

Menurut Ni’matul, siasat “menyandera” dan pembangkangan terhadap putusan MK bukan praktik yang elok dilakukan elite politik. Sebab, hanya menghina konstitusi untuk ambisi pribadi dan kelompok partai politik.

“Bertindaklah selayaknya pemimpin dan negarawan yang mendedikasikan diri untuk mengabdi pada bangsa dan negara,” ucap Ni’matul.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan