close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Kemenkeu: Belum ada pertimbangan subsidi Pertamax di RAPBN 2024.  Ilustrasi. Foto myPertamina
icon caption
Kemenkeu: Belum ada pertimbangan subsidi Pertamax di RAPBN 2024. Ilustrasi. Foto myPertamina
Peristiwa
Rabu, 26 Februari 2025 14:24

Mengapa skandal korupsi BBM oplosan bisa terjadi?

Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi minyak mentah dan rekayasa Pertamax.
swipe

Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina pada periode 2018-2023. Dalam kasus ini, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan (RS), Direktur Feedstock and Product Optimalization PT Kilang Pertamina Internasional berinisial SDS dan Direktur Utama PT Pertamina International Shipping berinisial YF telah ditetapkan sebagai tersangka. 

Tersangka lainnya ialah VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional berinisial AP, beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa berinisial MKAR, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim berinsial DW, GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim, serta Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.

Kejagung menemukan indikasi RS dan kawan-kawan merekayasa agar readiness/produksi kilang PT Pertamina turun. Dengan begitu, pemerintah terpaksa mengimpor minyak untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Padahal, peraturan Kementerian ESDM mewajibkan agar pemerintah mengutamakan pasokan minyak bumi dari dari dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan domestik. 

Tak hanya itu, Kejagung juga menduga PT Pertamina Patra Niaga merugikan konsumen karena membeli dan mendistribusikan bahan bakar oplosan. RS dan kawan-kawan ditengarai membeli Pertalite untuk kemudian di-blend atau dioplos di depo/storage menjadi Pertamax. Pertalite dibeli dengan harga Pertamax. 

“Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, tersangka RS melakukan pembelian (pembayaran) untuk Ron 92 (Pertamax), padahal sebenarnya hanya membeli Ron 90 (Pertalite) atau lebih rendah kemudian dilakukan blending di storage/depo untuk menjadi Ron 92,” tulis keterangan pers Kejagung, Selasa (25/2). 

Pakar ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi, menilai praktik lancung yang dilakukan RS dan kawan-kawan serupa dengan modus para koruptor dalam skandal Petral pada 2014. Selain mark-up, para pelaku juga merekayasa produk yang dijual-beli di pasaran. 

"Dalam praktiknya, minyak mentah produksi dalam negeri ditolak diolah di kilang Pertamina dengan alasan spesifikasinya tidak sesuai dengan kualifikasi kilang Pertamina sehingga harus impor minyak mentah untuk diolah di kilang dalam negeri," kata Fahmi kepada Alinea.id, Selasa (25/2).

Pertamina Energy Trading Limited atau Petral adalah anak perusahaan Pertamina yang bertugas memasarkan dan memperdagangkan minyak dan produk turunannya di pasar internasional. Pada Mei 2015, Petral dibubarkan karena para petingginya terlibat kasus korupsi jual beli BBM.

Modus ketidakcocokan spesifikasi itu, kata Fahmi, membuka peluang impor minyak mentah dalam jumlah besar. Kerugian negara jauh lebih besar lantaran ada mark-up dalam kegiatan impor. Mark-up yang dilakukan pada kontrak pengiriman (shipping) dengan tambahan biaya ilegal sebesar 13% hingga 15%. 

"Tindak pidana korupsi ini tidak hanya merampok uang negara, tetapi juga merugikan masyarakat sebagai konsumen BBM, yang membayar harga Pertamax namun yang diperoleh Pertalite yang harganya lebih murah. Agar perampokan itu tidak terulang kembali, aparat hukum harus mengganjar hukuman seberat-beratnya bagi tersangka," kata Fahmi.

Fahmi menilai Pertamina harus melakukan operasi pembersihan besar- besaran di institusi mereka. Selain itu, Presiden Prabowo Subianto juga harus tegas menunjukkan sikap anti mafia migas. Pasalnya, korupsi di sektor migas kerap terjadi karena adanya persektuan antara oknum di tubuh Pertamina, oknum pemerintah, oknum DPR, dan sokongan aparat. 

"Tanpa peran aktif Presiden, jangan harap mafia migas yang powerful dapat diberantas dan mustahil perampokan uang negara tidak terulang lagi. Perbaiki tata kelola dalam impor dan pilih pengambilan keputusan yang berintegritas," kata Fahmi.

Pembina Masyarakat Ilmuwan dan Teknologi Indonesia (MITI) Mulyanto, menilai skandal rekayasa BBM RON 90 menjadi RON 92 yang melibatkan Dirut PT. Pertamina Patra Niaga menandakan sistem pengawasan operasional migas hingga saat ini masih lemah. 

"Korupsi dengan kerugian negara sebesar Rp193,7 triliun itu aib besar karena terjadi di perusahaan negara yang harusnya memiliki sistem pengawasan sangat ketat," kata Mulyanto dalam keterangan resmi yang diterima Alinea.id, Selasa (25/2).

Mulyanto mendesak pemerintah sungguh-sungguh membongkar kasus ini secara tuntas hingga ke akar-akarnya. Tak hanya merugikan negara, kasus korupsi ini juga bisa menurunkan kepercayaan publik kepada Pertamina. 

"Oleh karena itu, Luhut jangan buru-buru mengangkat wacana untuk menghapus subsidi BBM, karena alasan APBN tekor yang justru mengorbankan masyarakat. Tetapi, yang utama adalah untuk lebih serius memberantas korupsi BBM seperti ini," kata Mulyanto. 

Sebelumnya, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan memberi sinyal tidak akan ada lagi BBM bersubsidi pada 2027 mendatang. Ia sudah mengusulkan skema BBM satu harga kepada Presiden Prabowo. 

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan