close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Uji materiil Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (5/3/2024)./Foto tangkapan layar Instagram @mahkamahkonstitusi
icon caption
Uji materiil Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (5/3/2024)./Foto tangkapan layar Instagram @mahkamahkonstitusi
Peristiwa - Kebijakan Publik
Selasa, 01 Oktober 2024 16:06

Menggugat (lagi) diskriminasi usia pelamar kerja

Sebelumnya, pada Juli 2024 MK menolak permohonan uji materi Pasal 35 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang mempersoalkan batas usia pelamar kerja.
swipe

Di usianya yang ke-32 tahun, Agung Wibowo harus menerima nasib, menjadi pengangguran. Dia dipecat dari perusahaan telekomunikasi di bilangan Serpong, Tangerang Selatan, Banten.

Bowo—sapaan akrabnya—dipecat pada akhir Agustus lalu karena alasan perusahaan ingin melakukan efisiensi. Sembari mempelajari beragam keahlian menggunakan kecerdasan buatan, dia mengaku sudah berulang kali melamar pekerjaan. Namun, belum ada yang menerimanya.

“Karena syarat minimal batas usia kerja perusahaan swasta sekarang 28 tahun,” ucap Bowo kepada Alinea.id, Senin (30/9).

Dia menilai, syarat bayas usia minimal itu menyulitkan dirinya mendapat pekerjaan baru. Padahal, dia merasa masih mampu bersaing dengan angkatan kerja baru yang berusia lebih muda.

“Saya juga enggak minta gaji gede sebenarnya,” ujar warga Kosambi, Cengkareng, Jakarta Barat itu.

Hikmah, 35 tahun, memiliki kisah serupa. Perempuan yang sempat bekerja sebagai sales produk elektronik ini, berhenti bekerja setelah punya anak pada 2019. Namun, niatnya ingin kembali bekerja karena tuntutan hidup, terhalang syarat usia kebanyakan sales, antara 26-28 tahun.

“Saya ingin balik kerja sales. Saya senang nawarain produk, tapi belum ada lagi," ucap Hikmah.

Beberapa waktu lalu, syarat batas usia, jenis kelamin, dan agama pelamar kerja dalam rekrutmen tenaga kerja yang diatur Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena dianggap diskriminatif. Tiga pemohon, yakni Leonardo Olefins Hamonangan, Max Andrew Ohandi, dan Martin Maurer, yang mengajukan gugatan pun menggugat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Pada sidang pemeriksaan pendahuluan di Gedung MK, Jakata, Selasa (24/9) para pemohon menguji frasa “dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan”, yang tertera dalam Pasal 35 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.

Dikutip dari Kompas.com, kuasa hukum para pemohon, Syamsul Jahidin menilai pasal tersebut menciptakan ketidakpastian hukum. Frasa tersebut dianggap expressis verbis masuk dalam kategori norma yang bias.

Maka dari itu, kata dia, perlu ada penegasan berkaitan dengan diskriminasi apa saja yang tidak ditolerir dalam lowongan atau penerimaan pekerjaan. Syamsul pun menambahkan, ketentuan itu berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang dan perekrutan tenaga kerja yang tak memenuhi standar yang diperlukan.

Para pemohon juga menganggap, UU Ketenagakerjaan tak mengatur prinsip kesetaraan dalam proses rekrutmen, yang bisa mengakibatkan diskriminasi terhadap kelompok tertentu berlandaskan faktor usia, jenis kelamin, atau asal daerah.

Para pemohon juga berargumen, UU Ketenagakerjaan tidak mengatur prinsip kesetaraan dalam proses rekrutmen, yang dapat mengakibatkan diskriminasi terhadap kelompok tertentu berdasarkan faktor-faktor seperti umur, jenis kelamin, atau asal daerah.

Sebelumnya, Leonardo juga pernah mengajukan gugatan hal serupa ke MK. Namun, pada Juli 2024, MK memutuskan menolak permohonan uji materi Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan yang mempersoalkan batas usia pelamar dalam lowongan kerja. Pemohonan tersebut diajukan seorang karyawan swasta Leonardo Olefins Hamonangan.

Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan, definisi diskriminasi terhadap hak asasi manusia sudah diatur dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Berpijak dari pasal itu, menurut MK, diskriminasi terjadi jika ada pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, serta keyakinan politik. Artinya, menurut MK, diskriminasi tak terkait dengan batasan usia, pengalaman kerja, dan latar belakang pendidikan.

Menanggapi persoalan ini, peneliti di Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Andy Ahmad Zaelany menilai, UU Ketenagakerjaan hanya menyebutkan batas minimal usia kerja dan tidak memperjelas ketentuan maksimal usia untuk menghindari diskriminasi pada syarat batas maksimal. Begitu juga dalam rumusan aturan perburuhan International Labour Organization (ILO).

“Peraturan ILO sangat menekankan kesetaraan dan antidiskriminasi dalam ketenagakerjaan," ucap Andy kepada Alinea.id, Sabtu (28/9).

Oleh karena itu, menurut Andy, perusahaan yang membatasi usia maksimal pelamar kerja menjadi sangat diskiminatif. Sebab, banyak perusahaan tidak memahami gagasan antidiskriminasi pada UU Ketenagakerjaan dan peraturan ILO.

“Batasan maksimal usia pelamar kerja itu dibuat oleh perusahaan, bertentangan dengan semangat UU Nomor 13 Tahun 2003 maupun peraturan ILO,” kata Andy.

Sementara itu, pakar hukum ketenagakerjaan Hadi Subhan menilai, pembatasan usia pelamar kerja atau batas usia pensiun di perusahan tidak bisa dipaksakan oleh undang-undang. Karena menjadi wewenang otonom masing-masing perusahaan.

“Kebutuhan usia pekerja masing-masing perusahaan itu berbeda-beda,” ucap Hadi, Minggu (29/9).

Dia pun tidak sependapat bila pembatasan usia maksimal pelamar kerja yang dilakukan perusahaan sebagai bentuk diskriminasi. “Melainkan kebutuhan masing-masing (perusahaan),” tutur Hadi.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan