close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Siswa SDN 145 Inpres Pampangan melakukan senam kreasi saat mencanangkan program Sekolah Ramah Anak di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Rabu (5/2/2020)./Foto Antara/Abriawan Abhe.
icon caption
Siswa SDN 145 Inpres Pampangan melakukan senam kreasi saat mencanangkan program Sekolah Ramah Anak di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Rabu (5/2/2020)./Foto Antara/Abriawan Abhe.
Peristiwa - Pendidikan
Rabu, 02 Oktober 2024 06:05

Meredam kekerasan di sekolah

Kekerasan di satuan pendidikan meningkat sejak Juli hingga September 2024.
swipe

Nasib nahas menimpa KAF, 14 tahun, siswa madrasah tsanawiyah (MTs) di Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Minggu (15/9) pagi, seorang gurunya melempar kayu berpaku yang menyasar ke kepalanya. Perkaranya, KAF dan teman-temannya yang diminta segera mandi dan bersiap menunaikan salah duha. Namun, para santri tak cepat melaksanakan perintah itu.

Akibat lemparan kayu berpaku itu, KAF tak sadarkan diri. Lantas dibawa ke RSUD Srengat Kabupaten Blitar, dan kemudian dirujuk ke RSUD Kabupaten Kediri. Namun, nyawanya tak tertolong.

Kasus yang menimpa KAF adalah satu dari sekian banyak kekerasan yang terjadi di satuan pendidikan. Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat, terjadi lonjakan kasus kekerasan di sekolah sejak Juli hingga September 2024. Pada Juli, FSGI mencatat ada 15 kasus. Lalu, akhir September jumlahnya menjadi 21 kasus, sehingga total 36 kasus.

Dikutip dari Kompas.com, Ketua Dewan Pakar FSGI Retno Listyarti mengungkapkan, pada September 2024 ada lonjakan 12 kasus kekerasan di sekolah, yakni kekerasan seksual sebanyak enam kasus, kekerasan fisik lima kasus, dan kekerasan psikis satu kasus.

Mayoritas kasus terjadi di jenjang pendidikan SMP atau MTs sebesar 36%, SMA 28%, SD atau  madrasah ibtidaiyah (MI) 33,33%, dan SMK 14%. Sebesar 66,66% kasus terjadi di sekolah di bawah naunangan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) dan 33,33% terjadi di sekolah di bawah Kementerian Agama (Kemenag). Sementara total jumlah korban anak mencapai 144 peserta didik dan jumlah pelaku sebanyak 48 orang.

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menduga, kasus kekerasan di sekolah yang terjadi dilapangan melebihi jumlah yang dicatat FSGI. Sebab, realitas di lapangan, banyak korban tidak berani melapor karena tidak mendapat perlindungan. Bahkan ada yang takut difitnah balik jika melapor ke polisi.

“Nanti kalau lapor malah dituduh pencemaran nama baik. Orang mau lapor malah dituduh yang bukan-bukan, sehingga banyak sekali kasus kekerasan ini relatif tidak ditangani secara serius,” ucap Ubaid kepada Alinea.id, Senin (30/9).

Kenyataannya, menurut Ubaid, banyak kasus kekerasan di satuan pendidikan baru tertangani secara serius bila viral di media sosial. Sedangkan kasus yang tidak viral berusaha dipendam.

Ubaid menilai, kekerasan yang dilakukan guru terhadap siswa, ditengarai karena masih ada pendidik yang menggunakan cara pandang kekerasan untuk mendidik siswa. Karena dianggap metode efektif membuat siswa patuh.

“Padahal ini sudah sangat tidak relevan, sangat bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak (Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014), yang sebenarnya tidak perlu lagi cara-cara kekerasan,” tutur Ubaid.

Kekerasan di satuan pendidikan, kata Ubaid, mesti ditekan dengan pendekatan yang ramah anak. Menurutnya, pemerintah harus melakukan peningkatan kapasitas dengan berorientasi pada metode mendidik yang dialogis dengan siswa. Hal ini perlu dilakukan, terutama di sekolah yang terindikasi marak kekerasan.

Sementara kekerasan yang dilakukan antarsiswa perlu juga ditangani dengan metode dialogis agar siswa sadar mengenai konsekuensi dari perilaku kekerasan. Bukan menggunakan pendekatan yang justru bisa memicu kekerasan dari siswa terhadap siswa lain.

“Semisal bicara tawuran, (perilaku) itu benar atau tidak, kenapa tawuran itu tidak boleh dilakukan. Bicara secara dialog, dampaknya seperti apa,” kata dia.

“Jadi anak melakukan sesuatu perbuatan itu, dia bisa mengetahui konsekuensinya apa, kenapa harus dilakukan dan jangan dilakukan.”

Terpisah, pengamat pendidikan dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Jejen Musfah mengatakan, kekerasan yang terjadi di satuan pendidikan yang belakangan meningkat, punya korelasi dengan lemahnya kepribadian guru dan kontrol atas hubungan guru-murid di dalam dan luar sekolah.

Padahal, Kemendikbud Ristek sudah menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, sebagai bagian dari Merdeka Belajar episode ke-25.

Oleh kareanya, Jejen berpikir, perlu dilakukan evaluasi terhadap implementasi Permendikbud Ristek tersebut. Selain itu, rekrutmen guru harus memprioritaskan kepribadian guru, agar tidak gampang mengambil tindakan yang menjurus pada kekerasan atau memancing siswa melakukan kekerasan.

“(Diperlukan juga) pengawasan kepala sekolah dan tim khusus atas hubungan guru-siswa,” kata Jejen, Senin (30/9).

“Sanksi tegas kepada guru pelanggar.”

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan