close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Dua orang tersangka kasus kekerasan seksual terhadap anak di Panti Asuhan Darussalam An-Nur, Kota Tangerang dihadirkan dalam konferensi pers di Polres Metro Tangerang Kota, Banten, Selasa (8/10/2024)./Foto tangkapan layar YouTube Polres Metro Tangerang Kota.
icon caption
Dua orang tersangka kasus kekerasan seksual terhadap anak di Panti Asuhan Darussalam An-Nur, Kota Tangerang dihadirkan dalam konferensi pers di Polres Metro Tangerang Kota, Banten, Selasa (8/10/2024)./Foto tangkapan layar YouTube Polres Metro Tangerang Kota.
Peristiwa - Kriminal
Sabtu, 19 Oktober 2024 06:05

Mewaspadai predator anak di sekitar institusi pendidikan

Ada beberapa cara agar anak-anak aman dari predator seksual di lingkungan pendidikan.
swipe

Kasus pencabulan terhadap anak-anak di Panti Asuhan Darussalam An-Nur Kota Tangerang, Banten dan 22 anak di Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta menyita perhatian publik. Di Panti Asuhan Darussalam An-Nur, sejauh ini ada 18 anak dan beberapa dewasa—kemungkinan jumlah korban bertambah, mengingat aksi pencabulan sudah dilakukan sejak 2006—semuanya laki-laki, yang mendapat kekerasan seksual dari ketua yayasan bernama Sudirman, serta dua pengasuh bernama Yusuf Bakhtiar dan Yandi Supriyandi.

Sedangkan di Kabupaten Sleman, pelakunya bernama EDW alias Hendrik. Menurut sejumlah informasi, dia merupakan guru tari di sebuah TK. Kebanyakan korban merupakan anak laki-laki. Perbuatan itu sudah dilakukan sejak 2019.

Menurut psikolog Tika Bisono, terutama kasus kekerasan seksual di Panti Asuhan Darussalam An-Nur, menunjukkan institusi boarding school alias sekolah asrama diisi orang dewasa yang mengalami gangguan mental. Mereka tidak bisa mengontrol kondisi seksualnya. Sementara pengawasan dari aparat setempat nihil.

Dia menyampaikan, berdasarkan asesmen psikologi, para pelaku memiliki trauma masa kecil dan tidak pernah ada intervensi psikolog. Trauma masa kecil itu diduga adanya kekerasan fisik atau seksual.

Ketika dewasa, mereka mengalami intimidasi dari lingkungan atau pasangannya. Bila sudah beristri, kata dia, mereka berpotensi mengalami intimidasi seksual dari istrinya. Akhirnya, yang tertanam sejak dini, terbawa hingga dewasa, dengan hasrat yang mudah rusak dan tak bisa dikendalikan.

“Dan ketika ada pihak yang lebih lemah, kesempatan membalas terjadi. Ada potensi superioritas lelaki,” kata Tika kepada Alinea.id, Jumat (18/10).

Pada umumnya, menurut Tika, masyarakat awam hampir tidak bisa melihat karakter sosiopat atau psikopat dalam diri pelaku. Apalagi dengan dibalut pakaian yang santun.

Sementara bagi psikolog maupun psikiater, perilaku itu bisa dilihat sekilas dari sikap-sikap yang perlu diwaspadai, yang menjadi ciri khas mereka. Misalnya dari bahasa tubuh ke anak-anak sering kali terlihat pandangan yang tajam. Lalu, perilaku yang lembut secara berlebihan dan tangan yang selalu ingin menyentuh anak-anak.

Sayangnya, kondisi ini selalu luput dari mata pemerintah, terutama Kementerian Agama (Kemenag) maupun Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek).

Sementara itu, psikolog klinis forensik A. Kasandra Putranto menegaskan, kejahatan seksual terhadap anak, termasuk predator seks yang menargetkan anak laki-laki, adalah masalah serius yang kompleks.

Kasandra menyebut, faktor teknologi menjadi penyebab lain dari masalah ini. Pelaku mengakses media sosial, yang memberikan ruang lebih mudah untuk menjangkau anak-anak. Adanya normalisasi perilaku yang ditemukan di beberapa kasus, norma budaya atau lingkungan yang lalai, dan abainya pengawasan, memperburuk kondisi ini.

Padahal, kata Kasandra, lingkungan pendidikan seharusnya memiliki peran penting dalam mencegah kejahatan seksual, termasuk predator anak. Sayangnya, di Indonesia belum ada standar persyaratan untuk kelayakan seseorang bekerja di sekitar anak, layaknya di negara lain.

“Di Australia, hukum telah menetapkan bahwa barang siapa hendak bekerja di sekitar anak, harus memiliki sertifikat kelayakan yang wajib diperbarui tiga bulan sekali,” ujar Kasandra, Jumat (18/10).

“Selain itu juga sudah ada perangkat hukum yang dapat menjerat pelaku kejahatan seksual, sebelum mereka meningkatkan perilaku mereka dari pola bujuk rayu sampai kepada kejahatan seksualnya.”

Dia menyarankan beberapa langkah yang dapat diambil oleh pihak institusi pendidikan untuk meminimalisir risiko. Dimulai dari sekolah yang harus memberikan pendidikan seksual yang sesuai dengan usia kepada siswa.

Pendidikan seksual ini, ujar dia, membantu anak memahami batasan tubuh mereka dan mengenali perilaku yang tidak pantas. Dengan pengetahuan yang tepat, anak-anak dapat lebih mudah melaporkan jika mereka mengalami atau menyaksikan kekerasan seksual.

Di samping itu, Kasandra melanjutkan, perlu pelatihan untuk staf agar mengenali tanda-tanda mengungkapkan hasrat seksual dan cara menangani situasi tersebut. “Pelatihan ini juga mencakup cara berkomunikasi dengan anak-anak agar mereka merasa aman untuk berbicara tentang pengalaman mereka,” tutur Kasandra.

Selanjutnya, dibutuhkan sistem penanganan dan pelaporan kejahatan seksual yang aman dan rahasia bagi siswa. “Hal ini penting agar anak-anak merasa nyaman untuk melaporkan tanpa takut akan konsekuensinya,” kata Kasandra.

Kemudian, ada penerapan kebijakan yang ketat terkait dengan kehadiran orang dewasa di lingkungan pendidikan. Tak lupa untuk meningkatkan pengawasan di area-area rawan, seperti ruang ganti, toilet, dan area bermain.

“Sekolah juga harus melibatkan orang tua dalam upaya pencegahan,” ujar Kasandra.

“Penyediaan informasi dan sumber daya bagi orang tua tentang cara melindungi anak-anak mereka dari kejahatan seksual dapat memperkuat upaya pencegahan.”

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan