Sebuah mobil sedan BMW terjun dari ruas tol layang Krian-Gresik yang belum tersambung pada Sabtu (5/4) malam. Peristiwa itu viral di media sosial, terekam kamera CCTV.
Mobil itu jatuh dari ketinggian sekitar lima meter. Lalu, mobil tersebut mendarat di Jalan Raya Wahidin Sudirohusodo yang berada di bawahnya, dekat exit tol Bunder. Mobil baru berhenti saat menabrak pohon.
Pintu masuk jalan itu memang terbuka. Namun, terpasang barrier atau pembatas jalan sekitar dua meter dan hanya bisa diakses petugas yang bekerja. Pengemudi diketahui juga mengikuti arahan peta digital Google Maps, sebelum akhirnya terjun di jalan tol yang belum terhubung.
Menurut pengamat transportasi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Muslich Zainal Asikin menyebut, pengendara dan pihak Jasa Marga yang mengelola jalan tol sama-sama salah. Jasa Marga, menurut dia, harus menjamin keselamatan.
“Padahal Jasa Marga kan mendapatkan rupiah dari pelayanannya (jalan tol) itu. Enggak bisa sembarangan seperti itu,” ujar Muslich kepada Alinea.id, Rabu (9/4).
“Pengemudinya juga salah, enggak bisa kecepatannya tinggi kayak gitu. Di daerah itu kan termasuk kategori wilayah yang krusial karena belum selesai secara sempurna jalan tolnya.”
Diketahui mobil sedan berwarna hitam itu berisi dua orang, yakni pengemudi Moch. Rudie Herru Komandono, 61 tahun, dan seorang penumpang bernama Endang Sri Wahyuni, 47 tahun. Mereka adalah warga Surabaya, Jawa Timur. Beruntungnya, mereka selamat.
Menurut Muslich, seharusnya jalan yang belum selesai itu ditutup penuh. Tidak boleh memakai barrier sederhana. Harus ditutup memakai beton agar kendaraan bisa berhenti, meski menimbulkan kerusakan. Kemudian, ada tanda-tanda peringatan yang terlihat dari jarak jauh, seperti lampu.
“Kalau itu berisiko tinggi dan sebagainya, bisa pakai selokan pasir. Jadi kalau ada yang nekat gitu, tidak menimbulkan kecelakaan, tapi jeblos, berhenti di selokan pasir itu,” kata Muslich.
“Harus ada pemberitahuan melalui tanda-tanda lalu lintas maupun informasi kepada masyarakat secara masif.”
Pengemudi mobil itu, kata Muslich, seharusnya juga mendapatkan sanksi, misalnya berupa denda. “Kalau tidak dikenai punishment, nanti tidak ada efek jera. Ini soal intelektualitas dan tanggung jawab,” ucap Muslich.
Dia pun tidak mempermasalahkan kasus kecelakaan ini dibawa ke pengadilan, dengan kedua pihak—pengendara dan Jawa Marga—saling menuntut. Lalu melibatkan ahli transportasi dan hukum.
Pihak pengelola jalan tol, ujar dia, bisa menuntut pengemudi mobil yang memanfaatkan fasilitas peta digital Google Maps tidak pada tempatnya.
“Iya dong (pengelola jalan tol bisa menuntut). Itu kan bikin nama Jasa Marga jelek, bikin orang menjadi khawatir,” tutur Muslich.
“Polisi enggak boleh begitu saja menafsirkan, Jasa Marga enggak boleh juga menafsirkan. Bawa ke pengadilan, diadili secara terbuka.”
Sebab, menurut Muslich, hal ini menyangkut keselamatan. Maka, dia berujar, tidak boleh diselesaikan hanya secara kekeluargaan.
“(Pengadilan) itu kan punya efek sosial yang luas,” kata Muslich.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Pemberdayaan dan Penguatan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno menuturkan, pengemudi kendaraan di jalan tol harus berhati-hati melihat marka jalan.
“Jangan lihat Google (Maps),” kata Djoko, Rabu (9/4).
“Tampaknya, dia (pengemudi) enggak konsentrasi. Jalannya sudah ditutup, kok masih lewat. Otomatis kan itu sudah enggak benar.”
Djoko tidak mempersoalnya penutupan jalan yang belum selesai menggunakan barrier. “Logikanya kan sudah ada barrier, berarti orang enggak boleh lewat kalau sudah ditutup. Entah ada celah atau tidak, itu enggak boleh dilewati,” ucap Djoko.
“Namanya jalan tol itu bukan jalan arteri. Kalau jalan arteri kan bisa dibuka-buka.”
Terkait potensi tuntutan hukum dari pihak pengemudi terhadap Jasa Marga, Djoko menyebut, hal itu tidak mungkin terjadi.
“Enggak berani dia (pengemudi). Dia sudah salah kok,” tutur Djoko.