Beberapa waktu lalu, polisi berhasil membongkar sindikat jual-beli bayi di Depok, Jawa Barat. Awalnya, polisi menyelidiki dua orang ibu yang akan menjual bayinya ke Bali kepada seseorang.
Ternyata, dua ibu tersebut menjual bayinya kepada pemasang iklan di Facebook, yang mencari orang tua yang mau menjual anaknya. Pemasang iklan mengiming-imingi orang tua bayi dengan imbalan Rp10 juta hingga Rp15 juta.
Bayi itu lalu bakal dibawa ke Bali untuk dijual ke penadah. Lalu, penadah tersebut akan menjual bayi Rp45 juta ke pengadopsi. Polisi menetapkan delapan orang tersangka, terdiri dari empat orang tua yang menjual bayinya, tiga penjual bayi, dan seorang penadah.
Selain kasus tersebut, bulan lalu anggota Polrestabes Medan juga menangkap empat perempuan yang terlibat jual-beli bayi seharga Rp20 juta yang baru dilahirkan di salah satu rumah sakit di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Empat pelaku itu punya peran berbeda, antara lain penjual, pembeli, dan perantara.
Kasus perdagangan anak kerap terjadi. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, penculikan dan perdagangan anak pada 2023 mencapai 59 kasus.
Menurut kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) Ade Erlangga Masdiana, perdagangan bayi pasti terjadi sepanjang masyarakat tidak memiliki keterikatan moral, etika, dan hanya menjadikan anak sebagai komoditas ekonomi.
Tak selalu pelaku perdagangan bayi adalah pengidap gangguan psikologis. Ade mengatakan, masih ada faktor lainnya. Misalnya kondisi sosio-kultural atau faktor pembenaran secara sosiologis. Artinya, anak bisa dijadikan apa saja oleh orang tua, anak harus patuh dengan orang tua, atau anak adalah milik orang tua.
“Hingga terpaksa (menjual bayinya) karena hamil duluan (sebelum menikah) akibat pergaulan bebas,” tutur Ade kepada Alinea.id, Kamis (5/9).
Kemudian ada faktor ekonomi, yang membuat orang tua terpaksa menjual bayinya karena tidak ada penghasilan lain. “Mau tidak mau harus menjual anak. Kalau di masa lalu, dijual kepada orang yang tidak punya anak,” kata Ade.
Faktor lainnya adalah kondisi politik, seperti terjadi saat perang. Dia mencontohkan, bayi diambil paksa untuk dididik dan diindoktrinasi agar siap menjadi kaki tangan penculik, kelompok, atau negara tertentu.
Sementara itu, psikolog anak, remaja, dan keluarga sekaligus Direktur Lembaga Psikologi Daya Insani, Sani Budiantini Hermawan mengatakan, kasus perdagangan bayi yang terungkap masih jauh lebih kecil dibandingkan kenyataannya di lapangan. Sani pun melihat, isu ekonomi menjadi faktor pelaku melakukan kejahatan ini.
“(Selain itu) banyak kelahiran yang tidak diinginkan menjadi pemicunya. Kemudian penadah pun hadir,” ujar sani, Kamis (5/9).
Maka, penawaran dan permintaan pun terjadi. “Ada motivasi mendapatkan uang lebih, dengan patokan harga minimal Rp2 juta hingga puluhan juta,” kata Sani.
Bagi Sani, hal ini bukan cuma tak bermoral dan absennya kemanusiaan, tetapi juga cuci tangan terhadap tanggung jawab sebagai orang tua. “(Kasus) ini perlu ditindaklanjuti kepolisian sampai ada efek jera,” tutur dia.