Komposisi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dominan diisi perwakilan dari kalangan aparat penegak hukum banjir kritik. Ketua KPK sementara Nawawi Pomolango menilai panitia seleksi (pansel) mengesampingkan amanat undang-undang karena minim meloloskan perwakilan dari masyarakat sipil.
"Jangan sampai pansel memilih orang-orang pemerintahan semua, tanpa ada unsur masyarakat," ujar Nawawi kepada wartawan di Jakarta, Senin (16/9)
Sepekan sebelumnya, pansel KPK telah mengumumkan 20 capim dan 20 calon anggota Dewan Pengawas KPK. Mayoritas capim KPK yang lolos berasal dari Polri, Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Mahkamah Agung (MA).
Mantan pegawai dan pegawai KPK juga mendominasi, semisal Johan Budi yang pernah menjabat sebagai juru bicara KPK, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak, serta Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan.
Menurut Nawawi, pansel luput memperhatikan isi pasal pasal 43 ayat (3) UU Tipikor. Pasal itu memandatkan agar komposisi pimpinan KPK diisi oleh perwakilan pemerintah dan masyarakat sipil. "Jangan-jangan pasal ini belum dibaca oleh pansel," imbuh dia.
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman sepakat komposisi capim KPK dari kalangan masyarakat sipil seharusnya didesain agar seimbang dengan capim "berwajah" aparat. Tujuannya tak lain untuk menjaga independensi KPK.
KPK, kata Boyamin, potensial terjebak konflik kepentingan jika para pemimpinnya didominasi aparat penegak hukum. Lembaga antirasuah, misalnya, bisa angin-anginan saat menggarap kasus korupsi yang melibatkan petinggi di instansi penegak hukum lainnya.
"Tetapi, jika komposisi penegak hukum tidak ada, maka akan menjegal proses administrasi hukumnya, seperti penyidikan maupun penuntutan yang kerap diisi oleh polisi dan jaksa," kata Boyamin kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
Boyamin berharap perwakilan dari masyarakat sipil tetap mengisi komposisi pimpinan KPK. Ia khawatir KPK bakal kian terpuruk jika semua jabatan strategis diisi oleh perwakilan aparat penegak hukum.
“Sejauh mana kita bisa mengawal proses ini? Terbukti kan dalam lima hingga sepuluh tahun terakhir, (KPK terus terpuruk). Meskipun ada demonstrasi, UU KPK tetap direvisi. Kemudian tes wawasan kebangsaan yang menendang orang-orang baik di KPK," tutur Boyamin.
Boyamin berpendapat sebenarnya ada banyak sosok berintegritas yang bisa mengisi posisi pimpinan KPK. Sayangnya, pansel tak meloloskan sosok-sosok itu.
Ia mencontohkan eks Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said yang dicoret pansel KPK. “Dari 20 itu yang berprestasi minimal sama dengan Pak Sudirman Said, adakah? Enggak ada,” ujar Boyamin.
Ketua IM57+ Institute Praswad Nugraha sepakat dominasi aparat penegak hukum di jajaran capim KPK harus dikritik. Menurut dia, situasi itu seolah membenarkan adanya jatah capim KPK bagi tiap institusi penegak hukum.
"Seperti bagian penyidikan identik dengan polisi, penuntutan diisi para jaksa, dan auditor dari BPKP. Seolah ada jatah untuk jaksa maupun polisi," kata Praswad kepada Alinea.id.
Perwakilan masyarakat sipil diakomodasi menjadi pimpinan KPK sejak era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pada periode kedua pemerintahannya, SBY menunjuk Abraham Samad sebagai Ketua KPK. Sebelumnya, Abraham berprofesi sebagai advokat dan aktivis.
Praswad menyarankan agar seleksi capim KPK diulang jika perwakilan dari masyarakat sipil tak terakomodasi dalam komposisi pimpinan. Namun, seleksi ulang hanya mungkin jika disetujui Presiden terpilih Prabowo Subianto.
"Kalau mau, ya, enggak ada yang enggak mungkin karena panglima penegakan hukum tertinggi dan angkatan bersenjata kita, di konstitusi kita itu, presiden,” ujar dia.