close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi palu hakim./Foto sergeitokmakov/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi palu hakim./Foto sergeitokmakov/Pixabay.com
Peristiwa - Hukum
Selasa, 01 Oktober 2024 06:05

Nasib hakim: Terhimpit kesejahteraan, integritas jadi taruhan

“Keadaan seperti sekarang menjadi salah satu penyebab hakim mudah masuk jurang korupsi.”
swipe

Sudah empat tahun Yunus menjalani profesi sebagai hakim. Dia bertugas di Pengadilan Negeri Sinjai, Sumatera Utara. Namun, dia merasa, gaji dan tunjangan yang diterima sebesar Rp12 juta, tidak mencukupi untuk keperluan hidup keluarga dan biaya penopang kerja, seperti transportasi, biaya persidangan, dan sebagainya.

“Semenjak naiknya harga BBM beserta bahan-bahan pokok lainnya, penghasilan sebagai hakim dapat dikatakan pas-pasan,” ucap Yunus kepada Alinea.id, Sabtu (29/9).

“Karena tiap tahun mengalami kenaikan inflasi, sedangkan gaji selama ini tidak mengalami kenaikan.”

Kondisi ini membuat Yunus terkadang terpaksa meminjam uang untuk memenuhi kebutuhan hidup. “Biasanya saya pinjam uang dari saudara, dan saat ini sedang mengambil kredit di BRI,” ujar dia.

Dia bakal membayar utang ke saudaranya pada tanggal 1 atau 20 karena uang transportasi baru cair sekitar tanggal 20. “Itu pun tunjangan transport pernah telah dibayar selama tujun bulan,” kata alumnus Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin itu.

Sejujurnya, Yunus ingin membuka usaha sampingan untuk menambah penghasilan. Akan tetapi, kode etik hakim tak mengizinkan memiliki usaha sampingan. Padahal, hakim di daerah banyak yang tidak dibekali uang sidang.

“Tapi netizen di medsos ada yang komentar, mengira kalau hakim di daerah dapat tambahan uang sidang per perkara, seperti halnya hakim agung di MA (Mahkamah Agung),” kata dia.

Gaji hakim diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung. Yunus merasa, gaji yang diatur dalam PP itu sudah tidak sesuai dengan inflasi pada 2024.

Dia merasa minimnya pemenuhan kesejahteraan hakim, berpotensi membuat integritas hakim goyah. “Keadaan seperti sekarang menjadi salah satu penyebab hakim mudah masuk jurang korupsi,” ucap Yunus.

Keresahan yang dialami Yunus, mungkin menjadi keresahan banyak hakim di Indonesia. Maka, para hakim muda di Tanah Air menginisiasi gerakan cuti bersama hakim se-Indonesia pada 7-11 Oktober 2024.

Gerakan ini dilakukan Solidaritas Hakim Indonesia (SHI) sebagai bentuk protes atas sikap pemerintah yang belum memprioritaskan kesejahteraan hakim. Mereka mendesak PP 94/2012 direvisi untuk menyesuaikan penghasilan hakim sesuai dengan kondisi inflasi saat ini.

Nasib serupa dialami Itsnaatul Lathifah, seorang hakim yang bertugas di Pengadilan Tinggi Agama Makassar. Dia mengaku, penghasilan sebagai hakim dari gaji dan tunjangan, sebesar Rp12 juta sering tak cukup untuk kebutuhan hidup. Terlebih, dia harus menyisihkan gaji untuk pulang kampung dan kebutuhan darurat karena tinggal terpisah dengan keluarga.

“Saya tidak memiliki kendaraan pribadi, sehingga sering kali harus menyewa mobil umum untuk keperluan ke bandara, juga butuh biaya untuk menginap ketika saya harus ke kota besar untuk berobat atau sekadar keperluan kepengurusan kepentingan studi,” kata Itsnaatul, Sabtu (29/9).

Itsnaatul mengaku, tidak bisa berbuat banyak menyiasati penghasilannya yang tidak sepadan dengan kondisi inflasi saat ini. Sebisa mungkin, dia hidup hemat dan membatasi membeli barang-barang yang tidak perlu dan tidak terjangkau kemampuan.

"Jika terpaksa ada kebutuhan mendesak, tidak ada pilihan lain selain kredit di bank," ucap Itsnaatul.

Itsnaatul ingin PP 94/2012 direvisi, serta gaji dan tunjangan hakim disesuaikan. Sebab, harga kebutuhan pokok saat ini sudah jauh berbeda dengan kondisi tahun 2012. “Tuntutan kebutuhan hidup semakin banyak, inflasi melambung tinggi, termasuk tiket pesawat setiap tahun naik,” ujar alumnus Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga itu.

“Berjarak jauh dari keluarga, membuat kami sering melakukan perjalanan yang pasti menghabiskan biaya.”

Senada dengan Yunus, menurut Itsnaatul, himpitan yang perlahan semakin berat, telah menyentuh integritas hakim. Membuat hakim gampang tergoda suap.

“Contoh kasus, dalam perkara perdata, objek yang disengketakan nilai asetnya bisa mencapai miliaran bahkan triliunan rupiah. Ada pihak yang menawarkan uang, dengan nominal fantastis,” tutur dia.

“Jika dihitung dengan pendapatan hakimnya, tidak akan terkumpul jumlah tersebut, meski harus menabung puluhan tahun. Sedang kondisinya terhimpit kebutuhan hidup. Bayangkan bagaimana alam pikir hakim tersebut?”

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan