close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Presiden Amerika Serikat Donald Trump bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di Helsinki, Finlandia, Senin (16/7). / Reuters
icon caption
Presiden Amerika Serikat Donald Trump bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di Helsinki, Finlandia, Senin (16/7). / Reuters
Peristiwa
Senin, 17 Februari 2025 12:22

Nasib Ukraina di tengah friksi AS vs Eropa

Negara-negara Eropa mengecam rencana pertemuan Trump dan Putin untuk membahas nasib Ukraina.
swipe

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump akhirnya menghubungi Presiden Rusia Vladimir Putin, pertengahan pekan lalu. Di antara beragam isu lainnya, dalam pembicaraan selama 90 menit itu, Trump dan Putin membahas peluang mengakhiri perang antara Rusia dan Ukraina. 

Isi pembicaraan keduanya diungkap Trump di media sosial. Menurut Trump, Putin sepakat untuk bernegosiasi mengenai nasib Ukraina. Pertemuan fisik untuk membahas negosiasi itu rencananya bakal digelar di Arab Saudi. 

"Kami pikir kami kemungkinan akan bertemu Arab Saudi untuk pertemuan pertama. Kami mengenal putra mahkota (Arab Saudi Mohammed bin Salman) dan saya rasa itu tempat yang tepat," kata Trump seperti dikutip dari CNN. 

Trump mengaku telah menghubungi Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy setelah pembicaraan dengan Putin. Namun, ia tak tegas menyatakan perwakilan Ukraina bakal hadir dalam pertemuan pertama untuk menegosiasikan akhir perang Rusia-Ukraina. "Kita lihat nanti," imbuh Trump. 

Di Brussel, Belgia, beberapa hari sebelumnya, Menteri Pertahanan (Menhan) AS Pete Hegseth mengatakan kepada perwakilan militer Ukraina bahwa keinginan Rusia mengembalikan semua wilayah Ukraina yang sudah dianeksasi tidak realistis. AS, kata dia, juga tak sepakat Ukraina diterima jadi anggota NATO. 

Langkah unilateral AS dikecam para pemimpin negara Eropa. Presiden Prancis Emmanuel Macron menegaskan hanya Zelenskyy yang bisa mewakili Ukraina dalam negosiasi damai. Ukraina tak bisa dipaksa menyerahkan sebagian wilayahnya kepada Rusia sebagai syarat perdamaian. 

"Apakah Presiden Putin secara genuine, berkelanjutan, dan kredibel mau menyetujui gencatan senjata dengan syarat ini (menarik semua pasukan dari Ukraina). Setelah itu, negosiasi dengan Rusia tergantung pada Ukraina," kata Macron kepada France 24

Macron bakal menginisiasi konferensi tingkat tinggi (KTT) negara-negara Eropa untuk membahas langkah unilateral AS. Perdana Menteri Inggris Keir Starmer, Kanselir Jerman Olaf Scholz, Sekretaris Jenderal NATO Mark Rutte, dan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen dijadwalkan hadir. 

Perwakilan dari Italia, Polandia, Spanyol, Belanda, dan Denmark juga diumumkan akan berpartisipasi dalam KTT yang digelar di Paris tersebut. "Kita perlu merespons (kebijakan Trump),” ujar Menlu Polandia Radoslaw Sikorski.

Perang antara Rusia dan Ukraina telah berlangsung hampir tiga tahun. Setidaknya 500.000-750.000 orang--baik prajurit maupun warga sipil-- tewas dan terluka karena perang tersebut. Jutaan orang mengungsi karena terdampak konflik. 

Saat ini, Rusia diperkirakan menguasai sekitar 20% wilayah Ukraina. Daerah yang diduduki pasukan Rusia, di antaranya Semenanjung Krimea, sebagian wilayah Donetsk, Kharkiv, Kherson, Luhansk, Mykolayiv, dan Zaporizhzhya. 

Zelensky mengatakan dibutuhkan setidaknya 200 ribu pasukan penjaga perdamaian untuk memastikan kesepakatan damai macam apa pun yang dicapai antara Rusia dan Ukraina tak dilanggar. Militer AS harus menjadi bagian dari pasukan perdamaian itu. 

Kiev telah mengajukan proposal untuk bergabung dengan NATO sejak September 2022. Pada Juli 2024, sejumlah negara Eropa sepakat memberikan akses bagi Ukraina untuk jadi anggota penuh NATO. Namun, AS dan Jerman tak setuju langkah itu. 

Arogansi Trump dan Putin 

Mantan Perdana Menteri Swedia Carl Bildt mengkritik arogansi Trump dan Putin yang seolah secara sepihak menentukan nasib Ukraina. Menurut dia, manuver unilateral Trump dan Putin bakal merusak hubungan AS dan Eropa. 

"Kita punya dua orang besar, dua ego besar yang meyakini mereka bisa bermanuver menyelesaikan semua isu sendirian," kata Bildt seperti dikutip dari CNN. 

Bildt menggambarkan kesepakatan damai tanpa persetujuan Ukraina serupa dengan yang dilakukan Inggris saat membiarkan Adolf Hitler menganeksasi Sudetenland (bekas wilayah Ceko). Aneksasi itu berujung pada pecahnya Perang Dunia II. 

“Bagi telinga orang Eropa, ini terdengar seperti (isi kesepakatan) Munich. Ini terdengar seperti dua pemimpin besar ingin ada perdamaian untuk negara yang jauh yang jarrang kita dengar... Orang-orang Eropa tahu bagaimana akhir dari manuver semacam itu," kata Bildt. 

Tatiana Stanovaya, pendiri firma analisisi politik R.Politik yang juga peneliti di Carnegie Russia Eurasia Center meyakini Putin bakal berupaya menggagalkan negosiasi damai yang merugikan Rusia. Putin, kata dia, akan berupaya terus menyanjung dan menenangkan Trump. 

"Menawarkan konsensi-konsensi yang digambarkan Trump sebagai kesuksesan besar dan kesepakatan yang hebat. Namun, konsensi-konsensi itu--misalnya, gencatan senjata--tak akan menghambat Rusia dalam mencapai target utama mereka," tulis Stanovaya di X. 

Tujuan utama Putin, kata Stanovaya, ialah melucuti persenjataan Ukraina dan menjadikannya bagian dari Rusia Raya. "Menjadi subordinasi dari Rusia," kata dia. 

 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan