Pukulan telak dirasakan Ukraina jelang tiga tahun perayaan Perang Rusia vs Ukraina. Amerika Serikat (AS)--salah satu negara sponsor terbesar Ukraina dalam perang--bersiap untuk menarik semua bantuan terhadap negara pecahan Uni Soviet itu. AS justru kian mesra dengan Rusia.
Dalam sejumlah kesempatan, Presiden AS Donald Trump mengungkapkan keinginannya agar perang segera diakhiri. Ia juga menuntut Ukraina mengembalikan bantuan logistik perang yang selama ini telah digelontorkan AS.
"Kita meminta mineral langka dan minyak, apa pun yang bisa kita dapat. Kita akan meminta uang kita kembali karena ini tidak adil. Kita akan lihat, tapi saya rasa, kesepakatannya akan segera tercapai," kata Trump seperti dikutip dari AFP.
Sejak awal perang, AS telah menggelontorkan dana bantuan hingga US$180 juta atau hampir Rp3 triliun untuk Ukraina. Sebagian besar dana bantuan dipakai untuk meng-upgrade persenjataan Ukraina.
Trump direncanakan bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di Arab Saudi dalam beberapa pekan mendatang. Tanpa perwakilan dari Ukraina, keduanya diisukan bakal menyepakati perjanjian damai untuk mengakhiri perang Rusia-Ukraina.
Trump juga sudah bertemu dengan Presiden Prancis Emanuel Macron. Prancis adalah salah satu sekutu Ukraina di Eropa. Menurut Trump, AS dan Prancis menyetujui penerjunan pasukan perdamaian PBB di Ukraina sebagai syarat perdamaian.
"Saya rasa dia (Putin) juga menyetujui itu (penerjunan pasukan perdamaian). Saya secara khusus menanyakan hal itu. Tidak ada masalah buat dia."," kata Trump dalam jumpa pers di Gedung Putih, Washington DC, AS, Senin (24/2) lalu.
Dalam jumpa pers yang sama, Macron tetap menegaskan dukungannya kepada Ukraina. Menurut dia, semua kesepakatan perdamaian harus adil bagi kedua belah pihak.
"Kami ingin damai, dia (Putin) juga ingin damai. Kami ingin perdamaian dicapai dengan segera, tetapi kami tidak ingin kesepakatan yang lemah," kata Macron.
PBB juga berdiri di samping Ukraina. Pada hari yang sama, Majelis Umum PBB menolak resolusi AS yang menuntut akhir perang Rusia-Ukraina tanpa menyebut Rusia sebagai agresor dalam perang tersebut.
Lantas bagaimana sikap Presiden Ukraina, Volodomir Zelenskyy? Pekan lalu, Zelensky menolak tuntutan ganti rugi senilai US$500 juta yang diminta Trump. Menurut dia, bantuan AS selama perang tak sampai angka itu. Di lain sisi, AS juga tak memberikan jaminan keamanan bagi Ukraina jika perdamaian tercapai.
Rusia menginvasi Ukraina pada 24 Februari 2022. Setidaknya 500.000-750.000 orang--baik prajurit maupun warga sipil--tewas dan terluka karena perang tersebut. Jutaan orang mengungsi karena terdampak konflik.
Saat ini, Rusia diperkirakan menguasai sekitar 20% wilayah Ukraina. Daerah yang diduduki pasukan Rusia, di antaranya Semenanjung Krimea, sebagian wilayah Donetsk, Kharkiv, Kherson, Luhansk, Mykolayiv, dan Zaporizhzhya.
Vladimir Putin dan Donald Trump. Foto:
Kesepakatan yang merugikan
Andrius Tursa, pakar geopolitik dari lembaga konsultan Teneo, menyebut Ukraina bakal dipaksa untuk menerima kesepakatan damai yang tidak menguntungkan oleh Trump. Ukraina hampir mustahil meneruskan perang setelah AS mewanti-wanti tak akan lagi mensponsori negara tersebut dalam perang melawan Rusia.
"Pembicaraan pertama mengenai gencatan senjata antara AS dan Rusia hampir tak menawarkan optimisme bagi Kiev. Washington telah mengeluarkan sinyalemen bakal mempertimbangkan tuntutan-tuntutan Rusia yang mengancam keamanan Ukraina," jelas Tursa seperti dikutip dari CNBC.
Dalam skenario terburuk, Ukraina bisa kehilangan sebagian wilayah yang saat ini telah diduduki Rusia. Seiring itu, AS juga potensial sama sekali tak menerjunkan pasukan mereka di wilayah konflik.
"Kritik Trump terhadap Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy juga memincu sentimen anti-Amerika di Ukraina dan memanaskan tensi di kawasan Transatlantic,” tutur Tursa.
Trump sempat menyebut Zelenskyy sebagai diktator karena tetap berkuasa di Ukraina meskipun masa jabatannya seharusnya habis pada April 2024. Padahal, Ukraina tidak bisa menggelar pemilu karena memberlakukan darurat militer.
Pakar hubungan internasional dari Center for Eurasian, Russian and East European Studies, Angela Stent menilai Putin tak ingin benar-benar berdamai dengan Ukraina. Putin, kata dia, percaya bahwa Rusia menang dan perekonomian Rusia bisa mengongkosi perang hingga tahun depan.
"Jika ada gencatan senjata, dia (Putin) mungkin menerimanya. Tetapi, untuk berapa lama? Gencatan senjata hanya efektif jika ada jaminan keamanan bagi Ukraina. Jika tidak, pasukan Rusia bisa menginvansi kembali," jelas Stent.