close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi nelayan. Alinea.id/Firgie Saputra
icon caption
Ilustrasi nelayan. Alinea.id/Firgie Saputra
Peristiwa
Selasa, 15 April 2025 17:00

Nestapa nelayan kecil yang terimpit kebijakan VMS dari KKP

Sulit bagi nelayan tradisional membeli mesin pendeteksi keberadaan kapal seharga Rp17 juta per unit.
swipe

Bersama ratusan nelayan tradisional lainnya di Rembang, Jawa Timur, Eko Sugeng Waluyo sedang meradang. Eko dan rekan-rekannya murka setelah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mewajibkan setiap kapal nelayan dilengkapi dengan vessel monitoring system (VMS) atau mesin pendeteksi keberadaan kapal. 

"Saat ini, hampir 300 kapal nelayan tradisional di Rembang tidak melaut, karena dilarang melaut sebelum memasang VMS. Tetapi, VMS itu harganya sangat mahal dan pajaknya juga mahal. Kami ini nelayan kecil, bukan yang melaut jauh. Paling lima hari melaut, lalu pulang," kata Eko kepada Alinea.id, Senin (15/4).

Biaya pemasangan VMS diperkirakan mencapai Rp16 juta-Rp17 juta per unit. Selain itu, para nelayan juga nantinya harus merogoh kocek untuk membayar pajak VMS yang sekiranya mencapai Rp7 juta per tahun.

Menurut Eko, ada sekitar 60.000 awak kapal dari 300 kapal yang terancam menganggur karena kebijakan itu. Ia dan para nelayan saat ini juga tidak bisa melaut karena aplikasi Penangkapan Ikan Terukur Secara Elektronik (e-PIT) yang dirancang KKP diblokir. 

"Jadi, karena kami belum pakai VMS, semua aplikasi e-PIT diblokir. Kami semua nelayan kecil yang enggak sanggup beli VMS dan membayar pajak VMS," kata Eko.

Eko dan kawan-kawan berencana mengadukan kondisi yang mereka alami kepada Komisi IV DPR RI. Ia berharap kebijakan KKP terkait VMS direvisi.  "Ini merugikan nelayan kecil yang justru perolehan tangkapannya tidak sebesar nelayan korporasi," jelas Eko. 

Penolakan pemberlakuan VMS juga disuarakan ratusan nelayan di Muara Angke, Jakarta Utara, Senin (14/4) lalu. Mereka kompak menggelar aksi unjuk rasa menolak kebijakan KKP di Pengedokan Kapal, kawasan Pluit, Penjaringan. 

"Kalau kami harus membeli VMS, itu benar-benar berat. Penghasilan aja tidak mencukupi. (Harga) BBM, perbekalan lainnya itu sudah melonjak," kata Nunung, salah satu pengurus Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), kepada wartawan di sela-sela aksi protes. 

Sekjen Koalisi untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati menilai kebijakan mewajibkan keberadaan VMS di kapal nelayan keliru. Apalagi, mayoritas nelayan yang beroperasi di Indonesia merupakan nelayan tradisional yang berat kapalnya rata-rata di bawah 10 gross ton (GT). 

"Jelas KKP ini tidak mengerti sama sekali tentang siapa sebenarnya nelayan yang ada di Indonesia. Karena nelayan di Indonesia ini, rata- rata atau sekitar 98% persen adalah nelayan tradisional di bawah 10 GT," kata Susan kepada Alinea.id, Senin (14/4). 

Ketimbang membebani nelayan tradisional, menurut Susan, semestinya KKP memperkuat pengawasan terhadap nelayan kelas kakap yang beroperasi dengan kapal-kapal besar. Pada praktiknya, kata dia, nelayan besar justru sering mematikan VMS ketika menangkap ikan. 

"Pada saat bersamaan, izin untuk kapal-kapal asing (diobral) dan belum tentu juga VMS-nya itu bisa dicek atau dilacak. Tidak ada pengawasan yang konkret dari pemerintah dan bagaimana kemudian penerapan sanksi untuk kapal-kapal yang mematikan VMS. Mereka itu kapal- kapal besar di atas 30 GT," kata Susan. 

Susan mencium aroma "bisnis" dalam kebijakan KKP terkait VMS. Ia menduga kebijakan itu hanya bakal menguntungkan pengusaha produsen VMS. Susan meminta jajaran petinggi KKP turun ke desa-desa nelayan untuk melihat langsung kondisi sehari-hari mereka di lapangan. 

"Negara terlihat membuat kemiskinan itu semakin meningkat tajam di desa pesisir. Kenapa? Karena Rp17 juta itu tidak sepadan dengan yang dihasilkan nelayan hari ini. Tanya kawan-kawan yang di pesisir. Berapa banyak mereka dapat uang per bulan? Itu enggak lebih dari Rp 3 juta," kata Susan. 

Kebijakan KKP yang terkesan sepihak itu, lanjut Susan, harus dibatalkan. Ia bahkan mengusulkan agar kinerja Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono dievaluasi Presiden Prabowo Subianto. 

"Jangan sekadar seperti jualan alat yang seperti makelar-makelar proyek itu. Orang-orang (nelayan) dipaksa menggunakan alat dan KKP yang mengakomodasi (pembelian alatnya). Seharusnya, Menteri KKP ini diganti," kata dia. 


 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan