Konsep green city dan smart city bakal sulit dipertahankan dalam pembangunan ibu kota Nusantara (IKN). Menurut pakar ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi, tak mungkin investor bakal tertarik berinvestasi di IKN jika tidak bisa membangun pabrik atau menjalankan aktivitas terkait industri.
"Indikasinya, (Presiden) Jokowi kerja keras untuk undang investor ke IKN dan pemberian berbagai fasilitas, termasuk di antaranya hak guna tanah hingga 190 tahun," ucap Fahmi kepada Alinea.id, Selasa (12/8).
Sebelumnya, Jokowi menargetkan IKN sebagai kota dengan emisi nol pertama di seluruh dunia. Ia mengatakan IKN hanya bakal jadi pusat pemerintahan dan pusat bisnis finansial. Pabrik yang dioperasikan menggunakan energi fosil tidak boleh didirikan di IKN.
Menurut Fahmi, tak ada investor yang bakal tertarik berinvestasi di IKN jika kota itu tak menyokong industrialisasi. Di lain sisi, produksi carbon untuk mencapai net zero emission (NZE) jika kendaraan bermotor yang beroperasi di IKN masih menggunakan bahan bakar minyak.
Syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai NZE, kata Fahmi, adalah 100% pembangkit listrik menggunakan energi baru terbarukan (EBT), 0% carbon dari kendaraan bermotor dengan BBM fosil, dan 0% pencemaran lingkungan dari asap pabrik. PLN mesti membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang tersebar di berbagai titik dengan kapasitas sebesar 50 megawatt (MW) dan tambahan pembangkit listrik tenaga air (PLTA).
"Untuk mendukung operasional kendaraan listrik, PLN membangun ekosistem smart electric vehicle untuk mewujudkan sarana transportasi ramah lingkungan yang menjangkau seluruh wilayah IKN. PLN juga membangun PLN Hub yang akan menjadi episentrum ekosistem transisi energi dan digitalisasi pertama sekaligus terbesar di Indonesia," kata Fahmy.
Seiring masuknya investor ke IKN, Fahmi meyakini IKN bakal perlahan bertransformasi menjadi kota industri. Untuk memangkas ongkos produksi, pabrik-pabrik akan tetap mengasilkan asap yang mencemari lingkungan, membangun pembangkit listrik sendiri yang menggunakan energi batubara, dan menggunakan kendaran BBM fosil.
"Pada saat itulah, IKN sebagai smart city dan green city hanya tinggal impian belaka dan NZE tidak akan pernah tercapai di IKN," ucap Fahmy.
Pakar tata kota Universitas Trisakti Yayat Supriatna menilai peluang untuk merealisasikan IKN sebagai kota berkonsep green and smart masih terbuka. Dengan luas sekitar 250 ribu hektare, IKN masih punya banyak lahan kosong yang dipakai investor untuk membangun kawasan industri.
"Tak mungkin kota bisa berkembang jika hanya mengandalkan pendapatan ASN yang sekitar kontribusinya paling hanya 5%. Dampak multiplyer-nya tidak begitu besar. Kalau semisal dengan industri di manufaktur, itu bisa berkontribusi sampai 20% atau 30%," ucap Yayat kepada Alinea.id, Jumat (16/8).
Ia sepakat hampir tak mungkin menciptakan IKN tanpa emisi jika Jokowi serius mengundang para investor. Terkecuali, investor yang menanamkan modal di IKN ialah mereka yang bergerak di bidang teknologi telekomunikasi yang canggih.
"Jangan industri yang menggunakan energi yang menghasilkan pencemaran. Tarik aja investor yang mau mengembangkan model seperti itu,"ucap Yayat.
Jika investor masuk, menurut Yayat, skenario menjadikan IKN sebagai smart city dan green city bisa tereduksi. Berkaca daerah industri di Jawa, perusahaan besar hampir selalu mengandalkan batu bara sebagai sumber energi.
"Di daerah luar IKN seperti kawasan industri Kariangau, Kota Balikpapan seperti itu. Di Jawa juga seperti itu. Pertanyaannya, apa mungkin dibangun di luar daerah-daerah itu perusahaan tidak pakai batu bara?"