Lembaga Pengkajian Perumahan dan Pengembangan Perkotaan Indonesia (LP P3I) atau The Housing and Urban Development (HUD) Institute Indonesia mengusulkan agar pemerintah menggalakkan pembangunan perumahan berbasis komunitas. Usul itu disampaikan dalam rapat HUD bersama Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Fahri Hamzah di Jakarta, Jumat (3/1) lalu.
Anggota Dewan Pakar HUD Institute Indonesia. Encep R. Marsadi mengatakan pembangunan kawasan perumahan berbasis komunitas bisa jadi salah satu solusi untuk mencapai target pembangunan 3 juta rumah per tahun yang digagas pemerintahan Prabowo-Gibran. Sesuai catatan Badan Pusat Statistik (BPS), mayoritas rumah dibangun secara swadaya oleh masyarakat.
"Rumah yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat sebagai penyumbang terbesar dalam penyediaan perumahan nasional, yakni sekitar 82,68%, menurut data BPS 2022 jika dibandingkan dengan perumahan yang dibangun swasta sebesar 10-17% dan yang dibangun pemerintah sebesar 5-10%," ujar Encep dalam keterangan tertulis, Senin (6/1).
Persoalannya, menurut Cecep, kebanyakan rumah yang dibangun secara swadaya belum memenuhi kriteria teknis yang ditetapkan pemerintah, semisal rumah tidak layak, berada di kawasan ilegal maupun kawasan kumuh, dan tidak dilengkapi dengan sanitasi. "Maka dari itu, dibutukan upaya pendampingan kepada masyarakat dari pemerintah," imbuh Encep.
Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna sepakat model perumahan berbasis komunitas disinergikan dengan program 3 juta rumah yang direncanakan pemerintahan Prabowo-Gibran. Menurut dia, komunitas adalah kelompok terbesar yang membangun rumah secara mandiri atau swadaya.
"Jadi, mereka itu adalah 70% sebagai pelaku pembangunan perumahan secara swadaya atau mandiri. Tetapi, harus diakui, dalam konteks kualitas atau standar mungkin, tidak semua (rumah yang dibangun komunitas) belum memenuhi standar. Pertanyaannya, siapa yang bisa membangun rumah berbasis komunitas ?" kata Yayat kepada Alinea.id, Selasa (7/1).
Komunitas yang potensial difasilitasi atau dibantu membangun rumah secara mandiri, lanjut Yayat, ialah komunitas latar belakang profesi yang sama, seperti kelompok tani, nelayan, atau kelompok usaha spesfik lain, seperti komunitas pangkas rambut asal Garut.
Adapun konsep pembiayaannya bisa didesain dengan cara tanggung renteng berbasis gorong royong yang menyerupai arisan. Di lain sisi, pemerintah berperan membantu dari sisi sarana dan prasarana, semisal membantu pembangunan prasarana, sarana, dan utilitas umum (PSU) berupa jalan di kompleks perumahan, drainase, atau air bersih.
"Model arisan itu bisa dijalankan komunitas. Tetapi, belum tentu bisa di kalangan pengembang. Hitung-hitungan pengembang itu dalam konteks profit. Tetapi, dalam konteks komunitas itu adalah saling membantu karena kelompok komunitas adalah kelompok kecil yang saling mengenal dan ada trust di situ, ada kepercayaan," kata Yayat.
Jika pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak memiliki cukup dana untuk mendampingi dan membantu pembangunan rumah secara mandiri yang dilakukan komunitas, menurut Yayat, pemerintah bisa bekerja sama dengan perguruan tinggi atau perkumpulan arsitek.
"Dari sisi pengembang, juga harus membuka diri jangan hanya sekadar profit yang diutamakan. Tetapi, coba kedepankan sisi sosialnya untuk membantu komunitas membangun rumah secara mandiri, semisal dari sisi fasilitas jalan atau septic tank komunal. Kalau pemerintah, minimal pemerintah daerah bisa memfasilitasi dengan klinik rumah untuk komunitas," kata Yayat.
Ketua Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra) Harry Endang Kawidjaja menilai perumahan berbasis komunitas lebih tepat dikembangkan untuk mendukung target 3 juta rumah. Ia memperkirakan sekitar 1 juta rumah berbasis komunitas bisa dibangun untuk di kawasan perkotaan, baik yang berbentuk rumah tapak maupun vertikal.
"Sementara 1 juta lagi buat pembangunan peningkatan fasilitas RTLH (rumah tidak layak huni) dengan emphasis MCK (mandi, cuci, dan kakus) supaya sehat dan juga mengeliminasi stunting," kata Harry kepada Alinea.id, Selasa (7/1).
Harry juga sepakat pola tanggung renteng bisa dijalankan sebagai model pembangunan berbasis komunitas. "Atau bisa juga dapat tanah hasil rampasan koruptor, tetapi cicil bangunan rumahnya. Sedangkan yang 2 juta unit sisanya ini untuk desil pendapatan 3 juta ke bawah," imbuh Harry.
Pengembang perumahan rakyat, lanjut Harry, bisa dilibatkan dalam pembangunan perumahan berbasis komunitas jika memang dijamin pemerintah. "Jadi, penting komunitas karena melalui pendampingan bisa menghasilkan kemajuan yang positif," kata Harry.