close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan peninjauan di ladang jagung yang ada di kawasan food estate, Desa Wambes, Kecamatan Mannem, Kabupaten Keerom, Provinsi Papua. /Foto Ist.
icon caption
Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan peninjauan di ladang jagung yang ada di kawasan food estate, Desa Wambes, Kecamatan Mannem, Kabupaten Keerom, Provinsi Papua. /Foto Ist.
Peristiwa
Selasa, 15 Oktober 2024 14:19

Papua dan janji Nawacita yang diingkari Jokowi

Sepanjang pemerintahan Jokowi, konflik berdarah kerap meletup di Papua.
swipe

Konflik berdarah di tanah Papua jadi salah satu pekerjaan rumah yang tak mampu dirampungkan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) selama dua periode. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menilai Jokowi tak menepati janji Nawacita terkait Papua.

"Kami melihat janji Jokowi di Nawacita menyelesaikan permasalah di Papua itu tidak terlaksana. Dia ingkar janji. Dia berbohong dan justru menempatkan Papua sebagai wilayah yang dikeruk habis-habisan sumber daya alamnya. Kemudian menyelesaikan konflik dengan pendekatan keamanan dan militer," kata Isnur kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.

Nawacita ialah serangkaian program yang dijanjikan Jokowi saat berkampanye di Pilpres 2014. Salah satunya ialah memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan memperkuat pendidikan kebhinekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antarwarga.

Menurut Isnur, masyarakat Papua sempat punya harapan besar bisa damai dan sejahtera saat Jokowi mendapat mandat jadi presiden pada 2014. Namun, perlahan harapan itu buyar setelah Jokowi justru cenderung lebih memilih menggunakan pendekatan keamanan dalam menuntaskan beragam persoalan di Papua. 

"Masyarakat Papua pernah berharap tinggi konflik di Papua reda. Namun, Jokowi mengingkarinya. Jokowi justru melakukan pendekatan yang pakai kekerasan," tegas Isnur.

Di era Jokowi, konflik berdarah rutin meletup di Papua. Konflik-konflik itu umumnya melibatkan TNI dan Polri dengan kelompok kriminal bersenjata di Papua. Namun, ada pula konflik rasial yang melibatkan masyarakat sipil. 

Salah satu konflik terbesar ialah kerusuhan Wamena dan Jayapura pada Agustus dan September 2019. Setidaknya ada lebih dari 30 orang tewas dalam dua peristiwa terpisah itu. Ratusan warga Papua luka-luka karena brutalitas aparat keamanan.  

Berbasis riset YLBHI dan sejumlah LSM, Isnur berasumsi pendekatan militeristik yang diambil Jokowi berkorelasi dengan kepentingan pertambangan dan bisnis lainnya yang dikelola oleh elite-elite oligarki di sekeliling Jokowi. Pemerintah butuh militer untuk mengamankan kepentingan-kepentingan korporasi yang beroperasi di sana. 

"Sekarang lihat saja bagaimana di Papua selatan (pengusaha) Haji Isam membangun kompleks food estate dengan bendera Kemenhan (Kementerian Pertahanan). Jadi, Papua jadi wilayah yang direbut sumber daya alam direpresi oleh militer dan polisi," ucap Isnur.

Haji Isam atau Andi Syamsuddin Arsyad ialah pengusaha yang dikenal dekat dengan Jokowi. Utamanya berbisnis di bidang pertambangan, Haji Isam ditugasi Jokowi untuk mencetak 1,2 juta hektare sawah di Merauke sejak 2015.

Isnur berharap pendekatan keamanan dalam menyelesaikan konflik di Papua tak lagi dijalankan presiden terpilih Prabowo Subianto dan DPR periode 2024- 2029. Pendekatan keamanan, kata dia, hanya memperburuk konflik dan menimbulkan lebih banyak korban jiwa. 

"Harusnya Jokowi berkaca dan meniru cara Gus Dur. BRIN atau LIPI yang dulu itu punya riset bagaimana menyelesaikan Papua secara damai. Harusnya menyelesaikan konflik Papua dengan pendekatan saintifik, yaitu pendekatan dialogis dan bukan militer... Jujur kami khawatir cara Prabowo sama dengan cara Jokowi," ucap Isnur.

Peneliti dari Imparsial, Hussein Ahmad berpendapat DPR periode 2019- 2024 punya andil dalam memperburuk konflik di Papua. DPR, kata dia, kerap membiarkan operasi militer yang dilakukan pasukan TNI secara ilegal karena tak sesuai dengan Pasal 7 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. 

Pasal itu menyebutkan bahwa operasi untuk perang maupun bukan harus berdasarkan keputusan politik negara. "Tapi, DPR diam saja atas operasi militer yang dilakukan tanpa keputusan politik negara dan seizin DPR," kata Hussein kepada Alinea.id. 

Selama Jokowi menjabat, menurut Huessein, DPR terkesan hanya bisa merestui kekerasan yang terjadi di Papua. Padahal, pendekatan keamanan yang dilakukan telah menelan korban jiwa, baik dari pihak TNI, Polri, warga sipil, dan Tentara Nasional Papua Barat–Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) 

"Kondisi ini bukan kerja sendirian Menteri Pertahanan Prabowo. Tapi juga Komisi I karena sebagai lembaga pengawas, selama 10 tahun pemerintahan Jokowi, memang tidak ada kerjanya. Jadi, benar-benar kita harus menagih ini (janji meredakan konflik Papua) ke DPR terutama Komisi I," ucap Hussein. 

Serupa, Hussein pesimistis Prabowo bakal melepas pendekatan militer di Papua. Ia juga tak yakin DPR periode sekarang mampu memperkuat pengawasan terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM di Papua.

"Tetapi, kami berharap (pemerintah dan DPR) tidak mengabaikan kemanusiaan orang Papua. Cara-cara dialog harus ditempuh," kata Hussein. 

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan