Proses seleksi calon pimpinan dan anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini memasuki tahap penelusuran rekam jejak. Sebelumnya, ada sebanyak 40 orang peserta yang lolos tahapan ujian tertulis. Dari angka itu, sebanyak 16 capim KPK berasal dari kalangan penegak hukum.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana meminta panitia seleksi capim dan anggota Dewas KPK tak hanya sekadar basa-basi dalam penelusuran rekam jejak. Jika diperlukan, pansel menggelar aksi jemput bola untuk mengungkap rekam jejak para calon secara utuh.
Aksi jemput bola semacam itu, menurut Kurnia, pernah dilakukan pansel capim KPK pada 2019. Ketika itu, anggota pansel menyambangi institusi tempat para calon bekerja. Namun, aksi jemput bola itu terkesan hanya seremonial.
“Jangan sampai kita membayangkan atau meyakini bahwa penyambutan itu bagian dari penelurusan rekam jejak karena pada 2019 pansel seperti itu akhirnya yang dipilih orang problematik sepeti (eks Ketua KPK) Firli Bahuri,” kata Kurnia dalam diskusi publik di Kantor ICW, Jakarta Selatan, Kamis (15/8).
Dari penelusuran sementara, ICW menemukan masih ada calon bermasalah di deretan peserta. Tanpa merinci, Kurnia mencontohkan ada calon-calon yang tidak taat mengunggah Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) ke KPK.
“Setelah kita lihat, ada kok yang lolos dan bolong LHKPN-nya. Bahkan, ada yang nilainya sama setiap tahun. Apakah dia ini tidak terima gaji?” tanya Kurnia.
Anggota Dewas KPK Albertina Ho berpendapat serupa. Ia menilai penelusuran terhadap rekam jejak merupakan salah satu tahapan terpenting dalam seleksi capim dan anggota Dewas KPK. Pansel harus serius jika tak ingin kecolongan.
Sebagai dasar argumentasi, ia mencontohkan jajaran pimpinan KPK yang bermasalah secara etik pada periode 2019-2024. Selain Firli, ada kasus pelanggaran etik yang pernah menjerat eks Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar.
Saat ini, Dewas KPK juga tengah menangani kasus dugaan pelanggaran etika terhadap pelaksana tugas Ketua KPK Nurul Ghufron dan Wakil Ketua KPK Johanis Tanak. Putusan terhadap Ghufron belum dirilis lantaran Ghufron tengah melakukan sejumlah upaya hukum untuk "melawan" Dewas KPK, termasuk di antaranya melaporkan Dewas KPK ke Bareskrim Polri.
“Kalau (yang satu itu) diputuskan kena, berarti lebih dari 50% (pimpinan KPK bermasalah). Jika begitu, salahnya waktu seleksi atau waktu di dalam? Apakah dalam 5 tahun orang berubah?” ujar Aho, sapaan akrab Albertina, pada kesempatan yang sama.
Johanis dan Ghufron saat ini kembali mencalonkan diri sebagai capim KPK. Keduanya juga sudah lolos tahapan ujian tertulis. Menurut Aho, pansel hingga kini belum meminta data rekam jejak kedua capim dari perwakilan KPK itu kepada Dewas KPK.
"Kami dengan senang hati memberikan informasi itu selengkap-lengkapnya kepada pansel, karena kami berharap juga komisioner maupun Dewas KPK yang dipilih nanti betul-betul bisa membawa KPK ke arah yang lebih baik," ujar Aho.
Selain itu, Aho juga meminta agar pansel memastikan capim dari kalangan penegak hukum telah purna tugas jika terpilih jadi pimpinan KPK. Ia khawatir muncul konflik kepentingan antara KPK dan institusi tempat para capim bekerja sebelumnya.
“Memang diperlukan (capim) dari kalangan ahli atau penegak hukum, tapi bukan yang aktif. Jadi, tidak ada tanggung jawab dengan lembaga asal,” ujarnya.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas Feri Amsari berharap semua anggota pansel punya paradigma yang sama dalam memandang eksistensi KPK. Ia khawatir KPK diarahkan sebagai lembaga yang hanya fokus pada urusan pencegahan korupsi.
“Harus dudukan dulu KPK ini lembaga apa. Jangan-jangan pansel memiliki pandangan yang berbeda. Maunya mungkin pencegahan, pencegahan, pencegahan atau dimaknai kerja, kerja, kerja. Kalau masyarakat, maunya pemberantasan korupsi untuk kesejahterana masyarakat," kata Feri.
Secara khusus, ia juga "karpet merah" dari negara untuk Ghufron supaya bisa kembali menjabat sebagai pimpinan KPK via putusan nomor 112/PUU-XX/2022. Putusan itu membuat Ghufron bisa kembali menjabat sebagai capim KPK meskipun belum berusia 50 tahun.
"Kalau orang baik, seharusnya dia tidak akan mau melanjutkan untuk periode kedua. Meskipun dalam sejarah KPK, tidak ada yang berhasil untuk periode kedua. Nah ini ada yang sangat berusaha untu masuk peridoe kedua," ujar Feri.
Komisioner KPK 2015-2019 Laode M Syarif menyatakan penelusuran rekam jejak harus menjadi patokan pansel untuk mencari bibit terbaik sebagai capim dan anggota Dewas KPK. Pansel disarankan meminta bantuan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) atau kepolisian serta mempertimbangkan laporan masyarakat yang masuk.
Penelusuran rekam jejak, lanjut Laode, harus seketat seleksi administratif. Ia mencontohkan keputusan pansel mencoret calon yang ijazahnya belum dilegalisir dalam tahapan seleksi administratif.
“Kalau, misalnya. seleksi administrasi bisa seketat itu, banyak yang tidak lolos. Jadi, harusnya (penelusuran) kelakukan (capim dan anggota Dewas KPK) bisa lebih ketat). Apalagi, masuk ranah etiknya KPK,” ucap Laode.