close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Kabid Humas Polda Sumatera Selatan Kombes Pol Sunarto tengah menggelar konferensi pers terkait kasus pembunuhan dan pemerkosaan siswi SMP berinisial AA yang dilakukan 4 pelaku di bawah umur di halaman Kantor UPTD PSRABH, Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Senin (9/9/2024)./Foto Instagram @polisi_sumsel
icon caption
Kabid Humas Polda Sumatera Selatan Kombes Pol Sunarto tengah menggelar konferensi pers terkait kasus pembunuhan dan pemerkosaan siswi SMP berinisial AA yang dilakukan 4 pelaku di bawah umur di halaman Kantor UPTD PSRABH, Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Senin (9/9/2024)./Foto Instagram @polisi_sumsel
Peristiwa - Kriminal
Rabu, 11 September 2024 16:05

Pengasuhan yang buruk di balik pelaku pidana anak

Anak-anak yang berkonflik dengan hukum dinilai kehilangan pengawasan dan pengasuhan.
swipe

Nasib nahas menimpa remaja perempuan berinisial AA, 13 tahun. Minggu (1/9) siang, warga menemukan siswi SMP itu meninggal dunia di area permakaman Tionghoa di TPU Talang Kerikil, Palembang, Sumatera Selatan. Usai dilakukan pemeriksaan, diketahui dia tewas akibat kekurangan oksigen.

Beberapa hari setelah kejadian itu, polisi menetapkan empat remaja sebagai tersangka, yakni IS, 16 tahun, MZ, 13 tahun, AS, 12 tahun, dan NS, 12 tahun. Korban diketahui dihabisi dengan cara dibekap, kemudian usai meninggal korban mengalami kekerasan seksual secara bergantian. Polisi menjelaskan, motif tersangka melakukan kekerasan seksual tersebut karena menonton film porno. Tersangka IS juga diketahui sakit hati terhadap korban.

Setelah ditangkap, tiga orang tersangka yang masih di bawah umur dititipkan di Panti Sosial Rehabilitasi Anak Berhadapan dengan Hukum (PSR ABH) Indralaya, Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Sedangkan seorang pelaku utama, yakni IS, ditahan di kantor polisi. Namun, belakangan tiga tersangka dipulangkan.

Menurut Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra, pelaku merupakan anak-anak yang berkonflik dengan hukum dalam sistem peradilan pidana anak. Maka, sangat tak layak bila terjebak pada perdebatan apa yang akan dijalani anak-anak yang menjadi pelaku. 

Jasra mengatakan, kini harus dipastikan cara mewujudkan tuntutan keluarga dalam akses keadilan dan pemulihan bagi keluarga korban. Tak lupa, proses pemidanaan yang membawa efek jera menjadi fokus utama.

Bagi Jasra, anak-anak yang berkonflik dengan hukum sering kali melakukan perbuatan pidana karena ada kelalaian pada perlindungan, pengawasan, dan pengasuhan. Lalu, kondisi itu bakal diperburuk bila mereka terperangkap dalam pornografi, judi online, minuman keras, narkoba, rokok, atau paparan kekerasan melalui gim.

“(Karenanya) penting sekali penelitian masyarakat menjadi bahan dalam putusan hakim nanti,” kata Jasra kepada Alinea.id, Selasa (10/9).

“Karena KPAI juga ingin keluarga pelaku, sekolah, dan lingkungan menyadari dampak dari perlindungan, pengasuhan, dan pengawasan yang gagal terhadap anak-anak.”

Menurutnya, proses pidana nanti menjadi tolok ukur sejauh apa para pelaku patuh dan mengikuti pembinaan. Kemudian, bagaimana lembaga pemasyarakatan memilih materi rehabilitasi yang berhubungan dengan tindakan pelaku.

Dia menjelaskan, ruang hukum di Indonesia berada dalam proses pemidanaan dan pembimbingan di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) atau Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), serta sangat memperhatikan perkembangan kondisi keluarga korban.

Jasra menduga, putusan hakim nanti bukan hanya menuntut para pelaku anak yang berkonflik dengan hukum, tetapi juga tanggung jawab secara moral dan kerugian yang akan dialami keluarga korban.

“Saya kira, bila hakim menggunakan SPPA (sistem peradilan pidana anak) ada yang lebih menyeluruh dalam proses acara dan pemidanaan agar akan masalahnya terungkap,” tutur dia.

“Saya kira, biarlah hakim yang nanti mempertimbangkan dan memutuskan. Karena penting memperhatikan banyak aspek. Sering kali anak berkonflik dengan hukum adalah anak-anak yang sudah berada di puncak masalah.”

Jasra mengingatkan, kesalahan dalam pengasuhan harus ditegaskan kembali karena membentuk karakter anak. Lalu, pergaulan dan lingkungan di mana anak berada juga sangat menentukan karakternya.

Oleh karena itu, kata Jasra, ruang dialog keluarga harus selalu dihidupkan. Orang tua harus menjadi teman anak-anaknya. Relasi pacaran yang tidak sehat, menurut Jasra, pun tidak bisa dibiarkan.

Sementara itu, kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) Arthur Josias Simon Runturambi mengatakan, kasus pembunuhan dan pemerkosaan anak di bawah umur dengan pelaku yang juga masih tergolong anak-anak, bukan fenomena umum yang marak terjadi. Maka, penyelesaiannya harus melibatkan semua pihak terkait.

“Tiap kasus tentu berbeda (penerapan proses hukumnya) meski pelaku (dan korban) sama-sama anak,” ujar Josias, Senin (9/9).

Anak-anak yang berkonflik dengan hukum, menurut Josias, kerap terjadi karena ada yang mengajak atau sekadar ikut-ikutan. Pengawasan yang minim pun membuat kondisi ini semakin parah. Hal itu bisa dilihat dari perilaku anak-anak yang mulai menyimpang.

“(Kasus ini) tidak umum karena anak seharusnya tak sampai pada perilaku (pidana) ini,” kata Josias.

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan