Presiden Prabowo Subianto mewacanakan penghapusan hukuman mati, terutama untuk narapidana kasus korupsi. Menurut Prabowo, hukuman mati tidak memberikan ruang koreksi jika terjadi kesalahan dalam proses hukum.
"Hukuman mati itu final. Padahal, mungkin saja kita yakin 99,9% dia bersalah. Mungkin ada satu masalah yang ternyata dia korban, atau di-frame. Kalau hukuman mati, final. Kita nggak bisa hidupkan dia kembali," ujar Prabowo dalam wawancara dengan sejumlah jurnalis senior dari kediamannya di Hambalang, Bogor, Jawa Barat.
Vonis mati untuk koruptor dimungkinkan dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tertulis pada Pasal 2 ayat (2) UU itu, "Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan." Namun, frasa keadaan tertentu tidak dirinci .
Meskipun tertulis dalam UU, Prabowo mengatakan hukuman mati untuk koruptor tidak pernah dijalankan oleh pemerintahan dari masa ke masa. "Bung Karno tidak melaksanakan, beberapa orang yang dihukum mati, Pak Harto tidak laksanakan, dan seterusnya," ujar Prabowo.
Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati setuju hukuman mati dihapuskan. Tak hanya untuk terpidana kasus korupsi, hukuman mati sebagai hukuman terberat juga harus dihapuskan untuk mereka yang terjerat tindak pidana narkotika.
Presiden, kata dia, harus mengeluarkan instruksi untuk menghapus 7 ancaman pidana mati dalam UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika). Momentumnya tepat lantaran pemerintah dan DPR saat ini tengah membahas revisi UU Narkotika.
Berdasarkan pantauan ICJR, vonis hukuman mati paling banyak dikeluarkan hakim saat mengadili kasus narkoba. Sepanjang 2023, misalnya, sebanyak 89% tuntutan dan vonis hukuman mati berasal dari sidang-sidang kasus narkotika. Selain itu, sekitar 69% terpidana mati kasus narkoba sedang ada dalam daftar tunggu untuk dieksekusi.
"Dalam berbagai penelitian, ICJR juga menemukan bahwa terdapat pelanggaran hak atas peradilan yang adil bagi kasus pidana mati, utamanya dari kasus narkotika. Klaim penyiksaan terbanyak berasal dari kasus narkotika," ujar Maidina kepada Alinea.id, Rabu (9/4).
Menurut Maidina, frekuensi eksekusi terhadap terpidana mati dalam kasus narkoba meningkat tajam ketika Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) mendeklarasikan perang terhadap narkotika. Sebanyak 18 orang yang dieksekusi mati saat pemerintahan Jokowi merupakan terpidana kasus narkoba.
"ICJR juga mengingatkan dengan pendekatan perang yang seolah melegalkan penggunaan pidana mati untuk kasus narkotika sama sekali tidak sejalan dengan komitmen global tentang kebijakan kontrol terhadap narkotika," jelas Maidina.
Tindak pidana penyalahgunaan narkotika, kata Maidina, tidak masuk dalam kategori kejahatan luar biasa dalam International Covenant on Civil and Political Rights atau Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Vonis mati boleh dikecualikan untuk kasus-kasus terkait narkotika.
"ICJR menekankan bahwa narasi perang terhadap narkotika adalah pendekatan usang yang mesti ditinggalkan. Kebijakan tersebut justru melanggengkan peredaran gelap narkotika tanpa control, demand, serta melahirkan aparat penegak hukum yang koruptif," ujar Maidina.
Penerapan hukuman mati bagi terpidana kasus narkotika juga tak menimbulkan efek jera yang signifikan, khususnya di kalangan pengguna. Menurut catatan Badan Narkotika Nasional (BNN), ada sekitar 3,6 juta pengguna narkoba pada 2023.
Di sisi lain, pemidanaan untuk kasus narkoba, lanjut Maidina, juga jadi salah satu penyumbang kelebihan kapasitas di lapas. "Beban lapas mencapai lebih dari 220%, dengan mayoritas penghuni berasal dari kasus narkotika," tutur dia.
Ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengaku tidak setuju hukuman mati diterapkan di Indonesia. Selain balasan atas perbuatan, tujuan penghukuman dimaksudkan sebagai pembinaan pada manusia agar menyadari perbuatannya.
Sesuai tujuan dari penghukuman, menurut Fickar, akan lebih tepat jika hukuman mati diganti dengan penjara seumur hidup.
"Itu akan lebih efektif. Soal seorang (narapidana) mati dalam status tahanan itu urusan Tuhan. Jadi, hukuman dunia yang maksimal itu seumur hidup," kata Fickar kepada Alinea.id.
Fickar sepakat UU Narkotika direvisi supaya ketentuan hukum mati diganti maksimal seumur hidup tanpa remisi. Di sisi lain, pembinaan terhadap petugas lapas juga harus dilakukan secara intensif agar mereka tidak mudah disuap sehingga kasus jual-beli narkotika yang dikendalikan dari lapas tak berulang.
"Maka, baik pada pelaku atau petugas LP yang membantu (bisnis narkotika) dihukum penjara seumur hidup di pulau terpencil seperti Nusa Kambangan," kata Fickar.