Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) resmi memasukkan Israel Defense Force (IDF) ke dalam daftar hitam organisasi yang melakukan kejahatan terhadap anak-anak. IDF dianggap turut bertanggung jawab dalam kematian sekitar 15 ribu anak selama delapan bulan perang melawan Hamas di Gaza, Palestina.
Keputusan itu dikeluarkan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, awal Juni lalu. Setelah masuk dalam daftar hitam, IDF kini sejajar dengan organisasi teroris semacam Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) dan Al Qaeda.
Blacklist terhadap IDF merupakan satu dari sekian banyak upaya organisasi multilateral untuk menekan Israel. Mei lalu, Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Tak hanya oleh lembaga internasional, protes terhadap Israel dan perang di Gaza juga disuarakan kalangan aktivis dan mahasiswa di berbagai negara selama beberapa pekan terakhir. Mereka ingin agar perang dihentikan dan pasukan Israel ditarik dari wilayah Palestina.
Tekanan juga datang dari sejumlah negara Eropa. Juni lalu, Norwegia, Irlandia, dan Spanyol menarik perwakilan diplomatik mereka di Israel setelah sebelumnya mengakui Palestina sebagai negara berdaulat. Israel membalas dengan menarik dubes mereka dari ketiga negara tersebut.
Pakar keamanan internasional dari Universitas Budi Luhur (UBL) Andrea Abdul Rahman upaya-upaya itu tak cukup untuk menekan Israel agar menarik pasukan mereka dari Palestina. Apalagi, Amerika Serikat masih bersikap abu-abu terkait perang Israel-Hamas.
“Kecuali Majelis Umum PBB secara bulat memberikan resolusi turunnya pasukan perdamaian ke Palestina serta blokade ekonomi yang secara signifikan bagi Israel menghentikan aksi agresinya,” kata Abdul kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
Presiden terpilih, Prabowo Subianto sempat mengusulkan pengiriman pasukan perdamaian ke kawasan Gaza dan Rafah. Abdul berharap usulan tersebut disambut baik oleh PBB. Dengan begitu, zona demiliterisasi bisa dibangun di wilayah perbatasan Israel-Palestina serupa yang dibentuk pada perbatasan Korea Utara-Korea Selatan dan UN buffer zone di Siprus.
"Rintangannya adalah Amerika Serikat. Hak veto dan ancaman dari Negeri Paman Sam merupakan ganjalan serius. Indonesia dan negara-negara lain sudah meminta hak veto ini untuk dihapuskan karena sudah tidak relevan dan malah menghambat proses perdamaian itu sendiri," jelas Abdul.
Pengiriman pasukan perdamaian di Palestina dan pembentukan buffer zone, menurut Abdul, butuh mandat PBB dan dukungan dunia internasional yang kuat. Indonesia tak bisa jalan sendirian dalam merealisasikan gagasan tersebut.
“Kemungkinannya (pasukan perdamaian Indonesia) bisa ditolak karena Indonesia dari dahulu berpedoman Palestina harus berdaulat penuh,” jelas Abdul.
Dosen Hubungan Internasional dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Robi Sugara menilai Palestina perlu diberikan keanggotaan penuh di PBB supaya wilayah tak terus digerus Israel. Sebagai negara berdaulat, Palestina bakal punya batas wilayah yang tegas yang tak boleh dilanggar oleh negara lainnya.
Lebih jauh, Robi sepakat keputusan PBB memasukan Israel ke daftar hitam tak akan berarti banyak. Apalagi, Hamas juga masuk ke dalam daftar yang sama. Pemimpin tertinggi Hamas Ismael Haniyeh juga masuk dalam daftar buruan ICC.
“Ismail Haniyeh (sebagai) pemimpin Hamas. Ini mungkin keputusan moderat dari internasional. Kuncinya ada di Amerika. Sebab selama ini Israel mendapatkan dukungan politik. Harus embargo ekonomi ke Israel,” ujar dia kepada Alinea.id.
Supaya efektif, menurut Robi, keputusan dan rekomendasi PBB terkait konflik Palestina-Israel harus dipatuhi semua negara anggota. Terkait daftar hitam, misalnya, negara produsen senjata ke Israel wajib menyetop penjualan senjata ke negara tersebut.
“Pertama, (negara-negara di dunia) harus menekan Amerika agar tidak terus mendukung Netanyahu. Kedua, mendorong negara-negara agar mematuhi aturan internasional,” ucap Robi.