Sebuah truk tronton menabrak lima sepeda motor dan satu mobil di lampu merah Slipi, Jakarta Barat, Selasa (26/11) pagi. Akibat kecelakaan beruntun ini, satu orang meninggal dunia.
Diduga, kecelakaan terjadi karena truk tronton mengalami rem blong. Namun, sopir truk tronton itu, Ade Zakarsih, mengaku dirinya mengantuk saat berkendara. Dia mengalami micro sleep. Truk itu diketahui mengangkut kardus yang hendak dikirim dari wilayah Cikarang ke Tangerang. Berdasarkan pengakuannya, sang sopir mengaku sudah berkendara sejak dini hari. Selain itu, kendaraan tronton ini juga beroperasi di luar jam operasional.
Sebelumnya, kecelakaan yang melibatkan truk tronton juga terjadi di kawasan turunan Silayur, Ngaliyan, Kota Semarang, Jawa Tengah pada Kamis (21/11). Akibatnya, beberapa orang luka-laku dan dua orang meninggal dunia.
Tak kalah mengenaskan, pada Senin (11/11) truk tronton yang mengalami rem blong juga menyebabkan kecelakaan beruntun yang melibatkan belasan mobil di jalan tol Cipularang KM 92. Satu orang meninggal dunia akibat insiden itu.
Pemerhati masalah transportasi dan hukum, Budiyanto menilai, kejadian sopir mengantuk hingga mengakibatkan kecelakaan beruntun di daerah Slipi, Jakarta Barat perlu menjadi pembelajaran bagi pengemudi angkutan barang jenis truk tronton. Menurutnya, sopir harus dalam kondisi prima. Dia mengatakan, sopir perlu istirahat yang cukup agar bisa berkonsentrasi penuh saat mengemudikan kendaraan jenis truk tronton.
“Pasal 106 ayat 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyebut, setiap orang yang mengemudikan ranmor (kendaraan bermotor) wajib berlaku wajar dan penuh konsentrasi,” ujar Budiyanto kepada Alinea.id, Rabu (27/11).
“Penuh konsentrasi adalah penuh perhatian, yang antara lain tidak boleh mengantuk. Mengantuk saat mengemudikan kendaraan bermotor merupakan bentuk pelanggaran lalu lintas yang berpotensi fatalitas kecelakaan.”
Dia menuturkan, kasus kecelakaan beruntun yang terjadi di Slipi harus diselidiki dengan cermat, apakah penyebabnya murni karena sopir mengantuk atau ada faktor lain.
Menyoal banyaknya kasus truk tronton yang menyebabkan kecelakaan beruntun dan menelan korban jiwa, Budiyanto berpendapat, perusahaan angkutan barang mesti dievaluasi. Mulai dari rekrutmen sopir, pelaksanaan uji kelaikan kendaraan, dan sistem manajemen keselamatan dari perusahaan.
“Rekrutmen sopir harus memenuhi syarat, kebanyakan asal-asalan. Perusahaan angkutan umum (barang dan orang) yang sudah berbadan hukum harus memberlakukan SMK (sistem manajemen keselamatan),” kata dia.
“Seandainya SMK diberlakukan, (perlu) punya bengkel sendiri (perawatan kendaraan rutin), ada balai latihan, plus pelatihan SDM (sumber daya manusia) termasuk sopir.”
Menurut Budiyanto, kendaraan operasional wajib memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan, yang mesti dipenuhi perusahaan, sehingga bila terjadi kecelakaan tidak hanya menyalahkan sopir. “Pihak-pihak yang bertanggung jawab perlu dimintai keterangan, penyidikan harus komprehensif,” ujar Budiyanto.
Sementara itu, praktisi transportasi angkutan barang Kyatmaja Lookman menilai, angkutan barang memang sedang punya masalah yang berujung pada terabaikannya keselamatan di jalan. Kyatmaja menyebut, ongkos angkut yang sangat kompetitif membuat perusahaan menghalalkan segala cara untuk menghemat operasional, sehingga jam kerja ditingkatkan dan pemeliharaan kendaraan terabaikan.
“Faktor yang sering diabaikan adalah masalah keselamatan, seperti praktik ODOL (over dimension over loading) dan pengurangan biaya,” kata Kyatmaja, Rabu (27/11).
Selain itu, sopir saat ini juga banyak yang belum sampai pada titik ahli mengemudi truk tronton. Dia berkaca pada kasus kecelakaan beruntun di jalan tol Cipularang beberapa waktu lalu, yang terungkap bila pengemudi truk kurang ahli di jalan menurun.
“Pengemudi sekarang juga tingkat keahliannya perlu di-upgrade,” ucap Kyatmaja.
“Kalau (kecelakaan) di lampu merah Slipi itu infonya pengemudi mengantuk, ini perlu pembinaan terkait manajemen berkendara.”
Di samping persoalan teknis, Kyatmaja juga melihat, sopir truk tronton agak kerepotan mencari tempat beristirahat di sekitar Jabodetabek. Sebab, tidak banyak rest area untuk truk. Imbasnya, sopir kerap terpaksa terus mengemudi jika sudah masuk Jakarta, walau dalam keadaan lelah dan mengantuk.
“Kemacetan ditambah jam melintas, memperparah driver fatigue,” tutur Kyatmaja.