close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Gerbang Institut Teknologi Bandung./Foto Kenrick/commons.wikimedia.org
icon caption
Gerbang Institut Teknologi Bandung./Foto Kenrick/commons.wikimedia.org
Peristiwa - Pendidikan
Senin, 30 September 2024 16:05

Di balik polemik gaduh kerja paruh waktu bagi penerima beasiswa di ITB

Kebijakan kerja paruh waktu di ITB bagi mahasiswa penerima beasiswa menimbulkan kontroversi.
swipe

Dalam akun Instagram-nya, Kabinet Keluarga Mahasiswa (KM) Institut Teknologi Bandung (ITB) menyatakan, poin tuntutan dalam kontrak berisi meminta kewajiban kerja paruh waktu (part time) di kampus bagi mahasiswa penerima keringanan uang kuliah tunggal (UKT) diubah menjadi sukarela disetujui pihak rektorat.

Kontrak itu ditandai dengan stempel resmi ITB dan tanda tangan pihak rektorat di atas materai pada Jumat (28/9). Sebelumnya, hingga Kamis (26/9), ratusan mahasiswa ITB berunjuk rasa menuntut kebijakan kewajiban kerja paruh waktu bagi penerima keringanan UKT dicabut. Sebab, dianggap terdapat unsur pemaksaan dan dinilai bentuk imbalan dari keringanan UKT.

Polemik itu bermula ketika pada Selasa (24/9) beredar surat elektronik pengumuman dari Direktorak Pendidikan ITB kepada mahasiswa penerima dan calon penerima pengurangan UKT diwajibkan melakukan kerja paruh waktu untuk ITB.

Menurut Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji, kebijakan ini menunjukkan orientasi kampus yang mengarah ke komersialisasi pendidikan. Padahal, beasiswa adalah hak yang harus diperoleh mahasiswa.

Kebijakan tersebut, lanjut Ubaid, seakan membuat mahasiswa harus melakukan balas budi atas beasiswa, dengan bersedia bekerja paruh waktu di kampus. Kebijakan itu, menurutnya, berbanding terbalik dengan Pasal 31 UUD 1945, yang mewajibkan negara menyediakan pembiayaan pendidikan dan bertanggung jawab untuk menyejahterakan masyarakat.

“Khususnya di kalangan ekonomi lemah. Karena itu, beasiswa adalah hak mahasiswa dan kewajiban konstitusional yang harus ditunaikan oleh pemerintah,” kata Ubaid kepada Alinea.id, Kamis (26/9).

Ubaid menyampaikan, sebagai kampus negeri, ITB seharusnya menaruh beban pembiayaan kampus dari APBN, bukan masyarakat. Apalagi anggaran pendidikan tahun 2024 mencapai Rp665 triliun, lalu naik menjadi Rp722 triliun pada 2025.

Dari jumlah anggaran tersebut, kata Ubaid, seharusnya kuliah bisa tanpa dipungut biaya di perguruan tinggi negeri seperti ITB. Dia menilai, kuliah menjadi mahal karena investasi pemerintah terhadap urusan pendidikan tinggi masih sangat minim. Selain itu, Ubaid memandang, kewajiban bekerja tanpa ada upah adalah jenis perbudakan modern.

“Bekerja paruh waktu di kampus itu bukanlah kewajiban mahasiswa penerima beasiswa,” kata dia.

“Tugas mereka adalah belajar di kampus, bukan bekerja.”

Sementara itu, pengamat pendidikan dan Guru Besar Ilmu Politik di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Cecep Darmawan menilai, kontroversi kebijakan bekerja paruh waktu adalah kekeliruan narasi. Diksi “kerja paruh waktu” dianggap akan menjadi beban bagi mahasiswa karena ada hak dan kewajiban lain yang harus dipenuhi. Cecep mendukung kampus tetap bisa menjalankan program tersebut untuk menguatkan tridharma perguruan tinggi.

“Mungkin bahasanya jangan kerja paruh waktu, tapi dalam rangka tridharma perguruan tinggi. Artinya, pendidikan dan pengajaran, penelitian dan riset, serta pengabdian masyarakat. Jadi jangan disebut kerja paruh waktu,” tutur Cecep, Minggu (29/9).

Meski begitu, Cecep menekankan, pihak kampus seharusnya tidak memilah satu mahasiswa dengan mahasiswa lainnya, berdasarkan penerimaan beasiswa. Baginya, hal itu cukup diskriminatif.

Jalan tengahnya, Cecep menyarankan, seharusnya tetap membuka peluang kepada para mahasiswa yang berprestasi atau mau jadi relawan. “Harusnya semua (mahasiswa), baik yang dapat beasiswa maupun tidak itu berhak untuk menguatkan tridharma perguruan tinggi,” ucap Cecep.

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan