close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Pekerja mengangkut tabung gas elpiji 3 kg bersubsidi di Pangkalan Gas di Cibubur, Jakarta Timur, pada Sabtu (25/4/2020). Foto Antara/Asprilla Dwi Adha
icon caption
Pekerja mengangkut tabung gas elpiji 3 kg bersubsidi di Pangkalan Gas di Cibubur, Jakarta Timur, pada Sabtu (25/4/2020). Foto Antara/Asprilla Dwi Adha
Peristiwa
Selasa, 04 Februari 2025 12:21

Pontang-panting berburu gas melon

Pemerintah diminta mencari jalan tengah agar pedagang kecil tak dirugikan kebijakan larangan menjual LPG 3 kg.
swipe

Hampir setengah kilometer, Napsin, 45 tahun, menyusuri jalanan sempit di Kampung Gaga, Semanan, Kalideres, Jakarta Barat, Senin (3/1) siang itu. Setidaknya lima toko kelontong ia sambangi. Namun, tak satu pun yang masih punya stok liquefied petroleum gas (LPG) 3 kg atau yang lazim disebut gas melon. 

Ia pun balik arah. Tiba di depan gerobak gorengannya, Napsin menghela nafas panjang. Raut mukanya tampak kebingungan. Adonan yang sudah menumpuk tak bisa digoreng lantaran ia kehabisan gas. 

Kepada Alinea.id, ia bercerita sudah berburu elpiji bersubsidi sejak pagi. Ia sempat mendapati toko kelontong yang masih punya stok gas melon. Namun, hanya tersisa satu. Ia keduluan oleh pedagang lain.

"Sampai berantem sama pedagang lain rebutan gas karena susah banget nyarinya," ucap Napsin. 

LPG 3 kg kian langka sejak pemerintah melarang penjualan secara eceran pada 1 Februari 2025. Kebijakan tersebut dikeluarkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Pemerintah menetapkan gas melon hanya bisa dibeli di agen resmi Pertamina.

Napsin mengakui sudah tiga hari kesulitan mencari gas melon. Ia mengeluh kebijakan pemerintah bikin hidup pedagang kecilnya kian sulit. "Bikin susah kebijakan ini," kata dia.

Nasib serupa dialami Sakinah (36), pedagang pecel lele di Poris, Tangerang, Banten. Ia juga sudah beberapa hari terakhir, kesulitan mendapatkan LPG 3 kg. 

"Bayangin aja. Usah nyetok 3 tabung gas kilogram, tapi enggak ada yang keisi lagi. Pas masak buat pembeli, terus gas terakhir mati," kata Sakinah kepada Alinea.id.  

Sakinah mengaku sempat mendapatkan gas melon dengan harga Rp25.000 per tabung di salah satu toko kelontong. Padahal, harga di agen resmi Pertamina masih Rp18.000.

Ia tepaksa membeli seharga itu supaya bisa terus berdagang.  "Teriak semua pedagang. Bisa demo ini," kata Sakinah. 

Seperti Napsin, Sakinah sepakat kebijakan melarang penjualan gas melon secara eceran merepotkan bagi pedangan kecil. "Pikirin orang kecil kalau mau bikin kebijakan," kata dia. 

Ekonom dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menilai larangan penjualan LPG 3 kg secara eceran bisa mematikan pengusaha kecil di akar rumput, merugikan konsumen, dan menabrak komitmen Presiden Prabowo yang berpihak kepada rakyat kecil.

"Dampaknya, pengusaha akar rumput kehilangan pendapatan, kembali menjadi pengangguran dan terperosok menjadi rakyat miskin," kata Fahmy dalam keterangan pers yang diterima Alinea.id, Minggu (2/1).

Pemerintah sebenarnya memberikan kesempatan bagi pengecer supaya beralih menjadi pangkalan resmi. Namun, ada banyak syarat yang harus dipenuhi, semisal menyertakan KTP, NPWP, bukti kepemilikan lahan, dan surat izin usaha perdagangan (SIUP), tanda daftar perusahaan, dan dokumen persetujuan lingkungan.

Soal itu, Fahmy menilai sulit bagi para pengecer untuk beralih menjadi resmi LPG Pertamina. Selain persyaratan yang berbelit, dibutuhkan modal yang tidak kecil untuk membeli LPG 3 kg dalam jumlah besar.

"Maka kebijakan pemerintah melarang pengecer menjual elpiji 3 kg harus dibatalkan. Prabowo harus menegur Bahlil atas kebijakan blunder tersebut agar kebijakan serupa tidak terulang kembali," kata Fahmy.

Pembina Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) Mulyanto menganggap wajar jika kebijakan melarang penjualan LPG 3 kg menimbulkan pro dan kontra. Di satu sisi, monopoli penjualan oleh agen resmi membuat pemerintah bisa mengontrol harga. Di lain sisi, masyarakat direpotkan jika agen resmi berlokasi jauh dari tempat tinggal mereka. 

"Dengan keberadaan pengecer, pengawasan lebih sulit.  Harga di tingkat pengecer mencapai Rp22.000 per tabung. Ini menyebabkan sistem distribusi gas melon bersifat terbuka. Kelemahannya, untuk daerah-daerah remote, penghapusan pengecer akan membuat masyarakat akan membeli gas melon di tempat yang lebih jauh," kata Mulyanto kepada Alinea.id.

Dia memahami kebijakan ini akan memicu gejolak di masyarakat. Jalan tengahnya, para pengecer harus mau naik kelas jadi agen atau pangkalan dan persyaratannya dipermudah. Dengan begitu, masyarakat tak dirugikan dan harga bisa dikontrol pemerintah. 

"Untuk itu pemerintah harus mempermudah administrasi peningkatan status dari pengecer menjadi pangkalan gas melon, apalagi untuk daerah-daerah remote. Sebelum upgrading, sebaiknya tetap menggunakan sistem pengecer yang eksisting," kata Mulyanto.
 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan