Presiden baru saja menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (PP Kesehatan).
Kebijakan itu, di antaranya, memuat soal pengamanan zat adiktif, peraturan peredaran/penjualan rokok, desain dan informasi pada kemasan rokok, peringatan kesehatan untuk rokok elektronik dan produk tembakau, Kawasan Tanpa Rokok, serta pengaturan iklan, promosi, dan sponsor.
Project office Lentera Anak, Rama Tantra, menilai, regulasi ini, sudah lebih baik dari PP 109/2012. Berbagai hal yang terkait rokok konvensional tidak luput dari sorotan kebijakan ini. Selain itu, juga ada kebijakan poin per poin yang mengatur rokok elektronik.
Untuk itu, dia meyakini, regulasi ini, bakal menyebabkan upaya penjualan rokok menjadi lebih ketat dari sebelumnya. Sehingga, anak-anak tidak gampang mengakses rokok. Begitu pula dengan masyarakat untuk lingkup lebih besar.
Hal ini terlihat dari pasal yang cukup baru dan mencakup batasan usia yang dapat mengakses rokok. Jika sebelumnya minimal usia diterapkan pada 18 tahun, sekarang menjadi 21 tahun.
“Ini luar biasa. Ini tidak hanya usia anak. Usia dewasa muda pun patut dilindungi. Ini patut diapresiasi,” katanya dalam diskusi X Space, Jumat (9/8) malam.
Kendati begitu, Rama mengingatkan, agar masyarakat tetap mengawal pelaksanaannya. Hal itu, untuk memastikan implementasinya berjalan dengan baik. Sebab, dia masih melihat adanya celah pada satu aspek, yakni soal iklan rokok.
Iklan rokok, kata Rama, secara global, memang telah masuk pelarangan. Sayangnya, dalam regulasi ini, masih masuk dalam pembatasan saja. Terutama untuk lingkungan sekolah yang hanya sebatas radius 500 meter.
“Masih ada celah karena jaraknya hanya 500 meter dari lingkungan sekolah. Apalagi, iklan dan produknya semakin kreatif,” ucapnya.
Executive Director IYCTC Manik Margamahendra, menambahkan, keberadaan iklan rokok harus diantisipasi oleh semua pihak. Tidak hanya soal papan reklame di jalan dekat lingkungan sekolah, tetapi juga media sosial. Ia pun menyebut, tinggal Indonesia saja yang masih belum melarang penayangan iklan rokok ini.
Selain itu, PP ini juga hanya membatasi jam tayang iklan rokok di media penyiaran berupa televisi dan radio. Di mana, iklan rokok masih dapat ditayangkan atau disiarkan setelah pukul 22.00 sampai dengan pukul 05.00 waktu setempat. Padahal, negara lain di Asia Tenggara, sudah sama sekali melarang penayangan iklan rokok.
Manik menyebut, sebenarnya pihaknya sudah melakukan advokasi sejak PP 109/2012. Hal itu dalam rangka memasukkan isu rokok elektronik sebagai bahan untuk pengetatannya. Tetapi, alih-alih menyempurnakan pengetatannya. Pemerintah justru berfokus pada kenaikan cukai rokok elektronik.
Padahal, kebijakan fiskal tidak cukup untuk menanggulangi peredaran rokok begitu saja. Sebagai bukti, prevalensi rokok elektronik pada 2011 masih 0,3%, tetapi menjadi 3% pada 2021. Yang artinya, terjadi kenaikan 10 kali lipat.
Itu karena produsen rokok memanfaatkan kelowongan regulasi saat itu, yang belum ada pengaturannya untuk memasarkan produknya lebih jauh. Khususnya kepada anak muda dan dewasa kecil.
“Karena itulah, kami melihat ini memang sangat urgent. Sayangnya, baru ke luar di tahun ini. Bisa dibilang agak terlambat,” ujarnya.
Sementara, Project Lead for Tobacco Control CISDI, Beladenta Amalia, berharap, aturan ini, tidak hanya menurunkan prevalensi perokok, tetapi juga mencegah lahirnya perokok pemula.
“Tentu kami menilai ini tidak 100% ideal, tetapi sudah cukup maju,” jelasnya.
Sedangkan orang tua dari anak yang merokok, Vivi Cipta, berharap, lahirnya beleid ini, bukan euforia semata. Tetapi bisa menjadi bendera start. Agar upaya perlindungan anak-anak bisa dimulai dengan pengawalan terhadap aturan ini.
Merespons terkait iklan rokok, Vivi yang merupakan praktisi di bidang advertising ini, menyebut, meski penayangan iklan rokok terhambat di televisi, tetapi masih ada pintu yang bisa menjadi celah anak-anak untuk menyaksikannya, yakni melalui internet.
Namun begitu, dia berharap, agensi iklan tidak ragu untuk menolak proyek terkait rokok. Sebab, masih banyak bidang lain yang bisa dipromosikan melalui skill para penggarap iklan.
"Ini bisa membuat saya sebagai ibu, bisa bernapas lega,” ucapnya