Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek) Satryo Soemantri Brodjonegoro berencana membatasi pembukaan fakultas kedokteran (FK) baru di perguruan tinggi di Indonesia. Satryo berpendapat pembukaan FK-FK baru bukan solusi untuk mengatasi kekurangan tenaga dokter.
"Kan butuhnya dokter, bukan butuhnya FK,” kata Satryo kepada wartawan di kantor Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Jakarta, Senin (13/1) lalu.
Jumlah dokter umum yang ada di Indonesia berkisar 150 ribu orang. Indonesia masih kekurangan 120 ribu orang untuk memenuhi rasio satu dokter untuk seribu penduduk.
Sebagai solusi mengatasi kekurangan dokter, Satryo mengusulkan penambahan kuota penerimaan mahasiswa dari fakultas-fakultas kedokteran yang sudah ada. “Kita minta kampus yang ada tambah kuota (mahasiswa) saja,” kata Satryo.
Guru besar di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Purnawan Junaidi menilai langkah moratorium pembukaan FK baru cukup beralasan. Ia sepakat memang persoalan jumlah dokter di Indonesia bukan pada sisi produksi, tetapi pada distribusi yang tidak merata.
Menurut Purnawan, seluruh fakultas kedokteran di Indonesia menghasilkan rata- rata 12 ribu dokter per tahun. Jika produksi dokter merata, kekurangan 120 ribu dokter bisa diatasi dalam sepuluh tahun. Ketika terget dicapai, Indonesia justru bakal kelebihan dokter.
"Maka cara yang paling terukur adalah menambah kuota di fakultas kedokteran yang sudah ada karena paling mudah. Ketika target tercapai, tinggal kuota yang dikurangi. Tetapi, kalau fakultas yang ditambah, ketika nanti sudah tercapai targetnya, mau diapain fakultasnya. Lebih sulit ditangani nanti," kata Purnawan kepada Alinea.id, Selasa (14/1).
Menurut Purnawan, akan lebih tepat jika pemerintah fokus mengurusi persoalan distribusi dokter yang belum merata. Saat ini, mayoritas dokter bekerja di wilayah barat Indonesia. Bagian timur Indonesia masih sangat kekurangan tenaga medis. "Skema apa yang mesti dilakukan untuk supaya distribusi merata," imbuhnya.
Persoalan kekurangan dokter, kata Purnawan, juga bertali-temali dengan biaya kuliah di fakultas kedokteran yang mahal. Terkait itu, ia menyarakan agar pemerintah daerah untuk memberi beasiswa kepada putra daerah yang berniat menjadi dokter.
"Nah, pemerintah daerah di daerah timur perlu melakukan ini. Beri beasiswa kedokteran kepada siswa berprestasi untuk nantinya setelah lulus jadi tenaga dokter di daerah tersebut, semisal pakai rumus mengabdi dua kali lipat dari masa studi. Kuliahnya lima tahun, ya, mengabdi paling minimal sepuluh tahun di daerah itu," kata Purnawan.
Diakui Purnawan, tidak mudah membuat lulusan FK mengabdi cukup lama sebagai dokter di daerah. Minimnya fasilitas umum dan dan terbatasnya jenjang karier jadi kendala utama yang membuat minat para dokter untuk mengabdi di daerah rendah.
"Tapi, saya pikir, kalau pemda berani menjamin anak istri dan keluarga dokternya selama mengabdi di daerah, saya rasa, pasti banyak dokter yang yakin mengabdi di daerah, terutama di daerah-daerah Indonesia timur," kata Purnawan.
CEO dan founder Center For Indonesia Strategic Development Iniatitives (Cisdi) CISDI, Diah Satyani Saminarsih meminta supaya pemerintah tak hanya fokus pada perdebatan soal kuantitas dokter yang diproduksi oleh fakultas kedokteran. Kualitas dokter juga harus diperhatikan.
Menurut dia, menambah kuota mahasiswa di FK tak semudah membalikkan telapak tangan. Ada hitung-hitungan rasio pengajar dan mahasiswa yang harus dipertimbangkan supaya dokter yang dihasilkan berkualitas. Fasilitas dan infrastruktur kampus juga harus dipertimbangkan.
"Jika pemerintah berniat untuk meningkatkan kuota peserta pendidikan program kedokteran, perlu dipastikan kesiapan pengajar dan juga infrastruktur terkait. Jangan sampai penambahan kuota mahasiswa justru menurunkan kualitas pengajaran yang berlangsung," kata Diah kepada Alinea.id, Selasa (14/1).
Menyoal biaya kuliah di fakultas kedokteran, Diah mengusulkan agar pemerintah memastikan mekanisme pembiayaan berkeadilan tersedia di setiap kampus atau universitas yang punya fakultas kedokteran. Bantuan finansial ataupun beasiswa bagi mereka yang membutuhkan juga wajib disiapkan.
"Komitmen ini pun perlu dibarengi dengan semangat memperbaiki ekosistem kerja layak bagi dokter untuk memastikan mereka bisa bekerja secara aman dan profesional," jelas Diah.
Tak kalah penting, lanjut Diah, pemerintah juga perlu memastikan pelatihan dan pendidikan kedokteran yang berkualitas dengan meningkatkan kualitas fasilitas ataupun pengajaran dan mendistribusikan dokter secara merata ke seluruh Indonesia.
"Selanjutnya, pemerintah perlu memastikan seluruh dokter di Indonesia mendapatkan kerja layak, infrastruktur kesehatan yang memadai, dan lingkungan kerja yang aman. Ketiga, menyusun strategi sumber daya manusia kesehatan untuk melihat tantangan-tantangan kesehatan di masa depan," kata Diah.