close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Suasana pos pengungsi bencana banjir dan tanah longsor di Desa Ciengang, Kecamatan Gegerbitung, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat./Foto Bidang Komunikasi Kebencanaan/M. Andhika Rivaldi/BNPB.go.id
icon caption
Suasana pos pengungsi bencana banjir dan tanah longsor di Desa Ciengang, Kecamatan Gegerbitung, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat./Foto Bidang Komunikasi Kebencanaan/M. Andhika Rivaldi/BNPB.go.id
Peristiwa - Banjir
Selasa, 10 Desember 2024 16:08

Problem alih fungsi lahan sebagai penyebab banjir di Sukabumi

Bencana banjir dan tanah longsor di Kabupaten Sukabumi disebut-sebut terparah sejak 10 tahun terakhir.
swipe

Hujan deras yang mengguyur Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat sejak Selasa (3/12) menyebabkan bencana hidrometeorologi, seperti banjir bandang dan tanah longsor. Pada Rabu (4/12), beredar di media sosial video beberapa mobil minibus yang terseret arus banjir bandang di Kacematan Sagaranten, Kabupaten Sukabumi akibat meluapnya Sungai Cikaso.

Menurut Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Sukabumi, Ade Suryaman, dikutip dari Antara,Kamis (5/12), bencana di Kabupaten Sukabumi meluas dari yang awalnya hanya tersebar di 22 kecamatan menjadi 30 kecamatan yang terdampak.

“Dari hasil evaluasi petugas penanggulangan gabungan, bencana hidrometeorologi didominasi oleh tanah longsor. Namun, dampak terparah ditimbulkan dari bencana banjir,” ujar Ade, dikutip dari Antara.

Data per Kamis (5/12), bencana tanah longsor terjadi di 63 titik, banjir 30 titik, angin kencang 15 titik, dan pergeseran tanah 16 titik. Jumlah korban terdampak sebanyak 167 kepala keluarga, terdiri dari 437 jiwa.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan, hingga Senin (9/12), sebanyak 10 orang meninggal dunia dan dua masih hilang akibat bencana banjir dan tanah longsor. Sebanyak 10 korban meninggal adalah warga di kawasan terdampak bencana, seperti Kecamatan Tegalbeuleud, Paburuan, Gegerbitung, dan Simpenan.

Menurut Plh. Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Barat, Anne Hermadianne, banjir yang melanda Kabupaten Sukabumi dikategorikan sebagai bencana terparah dalam 10 tahun terakhir. Penyebabnya, banyak alih fungsi lahan.

“Kita kembali introspeksi diri, apakah kita menjaga alam atau apakah kita mengubah alam kita ini menjadi kegiatan ekonomis yang justru mengubah alam tersebut,” kata Anne saat memberi keterangan kepada wartawan di Desa Sukamaju, Kabupaten Sukabumi, Jumat (6/12), seperti dikutip dari Kompas.com.

Ahli kebencanaan dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta Eko Teguh Paripurno memandang, dalih alih fungsi lahan sebagai penyebab banjir di Sukabumi merupakan kambing hitam dari multifaktor yang menjadi musabab bencana tidak tertangani dengan baik.

Eko mengatakan, jika daerah tangkapan air tidak mampu meresap, maka limpahannya akan menjadi aliran ke permukaan, lantas menjadi banjir besar. Daerah resapan air yang tidak mampu menyerap, kata dia, bisa disebabkan karena terkikisnya lahan akibat pembangunan yang salah perencanaan.

“Masalahnya adalah kemampuan tangkapan air. Jadi, masalah itu harus diselesaikan dari awal, bagaimana melakukan perencanaan yang baik, yang tidak berpotensi banjir,” ujar Eko kepada Alinea.id, Senin (9/12).

“Perencanaan yang baik dalam konteks daerah yang rawan banjir adalah pembangunan yang tidak mengalihkan aliran resapan menjadi aliran permukaan.”

Dia menilai, perencanaan pembangunan yang kadung salah, bisa disiasati dengan membuat resapan air lewat sentuhan teknologi sumur resapan atau menanam pohon. Jika masih menyisakan risiko banjir, maka perlu dilakukan pencegahan agar tidak terjadi limpahan air yang berlebih ke aliran permukaan.

Bila memang tetap tidak terhindarkan, maka perlu ada upaya kesiapsiagaan untuk menerima banjir, sehingga masyarakat sebisa mungkin dapat menyelamatkan harta benda yang penting. Menyoal alih fungsi lahan yang masih, menurut Eko, harus disisir di daerah resapan air yang melakukan pembangunan yang melanggar tata ruang.

“Apakah pembangunan di kawasan tersebut (melanggar), baik pelanggaran terhadap sempadan, lereng, kestabilan, dan tata ruang?” ujar dia.

“Kalau ada ya mereka yang bertanggung jawab atas banjir itu, bukan orang lain.”

Sementara itu, Ketua Majelis Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin menuturkan, alih fungsi lahan sebagai penyebab banjir bandang di Kabupaten Sukabumi merupakan alasan klasik. Sebab, hal itu sudah terjadi sejak lama. Dia menilai, alih fungsi lahan yang mengikis daerah resapan air secara berangsur-angsur dilakukan Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perhutani), perkebunan, dan pertanian masyarakat.

“Alih fungsi lahan sebagian karena kelalaian Perhutani melakukan pembiaran, bahkan menjadi bagian dari alih fungsi lahan. Sebaiknya BPBD melaporkan soal ini, sehingga penegakan hukum dijalankan,” kata Iwan, Senin (9/12).

Iwan juga menilai, Pemda Sukabumi turut berkontribusi terhadap alih fungsi lahan yang terjadi. Perkaranya, yang memberikan izin pembangunan adalah pemda.

“Pemda juga mesti melihat perizinan atau badan hukum usaha yang tidak menjalankan rencana tata ruang wilayah, sehingga terbit perizinan bangunan yang membuat daerah resapan makin hilang,” tutur Iwan.

Lebih lanjut, dia menambahkan Pemda Sukabumi mesti becermin ke dalam. Soalnya, alih fungsi lahan yang dilakukan telah menjadi “tabungan” bencana yang dituai saat ini.

“Jangan sampai menuding bencana ini menjadi sarana seolah alih fungsi dikarenakan pertanian atau perkebunan yang dimiliki rakyat,” ujar Iwan.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan