close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Presiden Joko Widodo (Jokowi) tengah memeriksa prajurit TNI dalam perayaan ulang tahun TNI ke-79 di Lapangan Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat, Sabtu (5/10/2024)./Foto tangkapan layar Instagram @prabowo
icon caption
Presiden Joko Widodo (Jokowi) tengah memeriksa prajurit TNI dalam perayaan ulang tahun TNI ke-79 di Lapangan Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat, Sabtu (5/10/2024)./Foto tangkapan layar Instagram @prabowo
Peristiwa
Kamis, 07 November 2024 06:19

Problem banyaknya perwira "nganggur" di balik promosi Ariyo dan Kosasih

Pada era Jokowi, ada lebih dari 2.500 perwira TNI yang mendudukki jabatan sipil.
swipe

Hanya beberapa pekan setelah Kabinet Merah Putih resmi bekerja, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto menggelar mutasi perwira tinggi (Pati) dari 3 matra. Total ada 76 perwira tinggi (pati) TNI dari tiga matra TNI yang dimutasi untuk mengisi sejumlah jabatan strategis, baik di lingkungan TNI atau di kabinet pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka (Prabowo-Gibran). 

Mutasi terhadap sejumlah perwira tinggi TNI itu tertuang dalam Surat Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/1332/X/2024 tentang Pemberhentian dari dan Pengangkatan dalam Jabatan di Lingkungan TNI. Surat keputusan itu ditandatangani Panglima TNI Agus Subiyanto pada 31 Oktober 2024.

Di luar TNI, Panglima TNI Agus Subiyanto mengutus dua anak buahnya untuk jadi pejabat baru di lingkungan kepresidenan, yakni Mayor Jenderal TNI Ariyo Windutomo sebagai Kepala Sekretariat Presiden dan Mayjen TNI Kosasih sebagai Sekretaris Militer Presiden. 

Ariyo sebelumnya menjabat sebagai Kepala Satuan Pengawas Universitas Pertahanan (Unhan). Jabatan lama Ariyo kini ditempati Mayjen TNI Agus Prangarso yang sebelumnya menjabat Komandan Sekolah Staf dan Komando TNI Angkatan Darat (Danseskoad). Adapun Kosasih sebelumnya menjabat sebagai staf ahli Menteri Pertahanan. 

Peneliti Imparsial Hussein Ahmad menilai pengangkatan Agus dan Kosasih sebagai pejabat di Kabinet Merah Putih mengindikasikan problem minimnya jabatan untuk perwira menengah dan perwira tinggi di tubuh TNI masih belum mampu diselesaikan pemerintah. Walhasil, Panglima TNI  memberdayakan sebagian pati ke area sipil. 

"Saya kira selama bertahun-tahun tidak ada upaya serius  dalam menyelesaikan problem terkini di TNI itu karena solusi yang seharusnya diambil seperti mengurangi jumlah calon  perwira akmil dan penerimaan jalur lain itu tidak dilakukan," kata Hussein kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini. 

Pada 2018, Imparsial pernah mendata sebanyak 1.069 kolonel dan 156 jenderal berstatus nonjob. Adapun data Laboratorium Indonesia Emas 2045 (LAB 45) menemukan ada sebanyak 2.569 perwira TNI menduduki jabatan sipil di sejumlah kementerian dan lembaga negara pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). 

Gemuknya jumlah perwira tanpa jabatan di TNI, kata Husein, sebenarnya bisa diatasi jika pemerintah memberlakukan moratorium rekrutmen personel TNI. Solusi lainnya ialah pensiun dini bagi para perwira dan pembekalan bagi mereka untuk melanjutkan karier di setkor swasta. 

"Sementara dalam jangka panjang mestinya memikirkan rancang bangun strategi pertahanan yang sesuai dengan kebutuhan strategis, bukan kebutuhan jabatannya. Jadi, itu tiga hal itu mestinya dilakukan," kata Hussein. 

Hussein berpendapat perlu ada kajian saintifik untuk memastikan jumlah perwira yang ideal di tubuh TNI. Dengan begitu, jumlah pati yang tidak memegang jabatan bisa diminimalisasi. "Karena tidak pernah berbasis sains, kebutuhan berapa, jumlahnya berapa, maka yang terjadi demikian," imbuh dia. 

Guru besar ilmu politik dan keamanan dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Muradi sepakat persoalan banyaknya perwira nonjob di TNI perlu segera diatasi. Menurut dia, banyak pati yang berlomba-lomba bertugas di instansi sipil demi mengejar kenaikan pangkat. Padahal, kompetensi dan kualifikasi mereka tak terlalu dibutuhkan di instansi sipil. 

"Jadi, butuh renstra (rencana dan strategi) baru. Jangan lagi begitu mentok, didorong lagi ke sipil. Kalau begitu, akan jadi masalah baru karena jadi tidak linier dengan demokrasi. Tentara itu tidak ikut dalam politik keseharian dan ini justru mengarah pada pengambilan jabatan sipil," kata Muradi kepada Alinea.id.

Salah satu opsi, kata Muradi, ialah mendistribusikan perwira menengah dan perwira tinggi ke daerah perbatasan, daerah konflik, atau memperkuat Ibu Kota Nusantara (IKN). 

"Jadi, kita menyerap jenderal-jenderal itu, semisal ke daerah yang baru dibentuk, daerah konflik, dan di daerah perbatasan. Misalnya, ke NTT atau ke Natuna yang memiliki potensi ancaman dari konflik Laut Cina Selatan. Meski perang sudah berubah jauh, tetapi paling penting keberadaan personel," ujar Muradi. 

Para pati, kata Muradi, bisa saja ditawarkan untuk pensiun dini. Namun, ia tak yakin akan ada banyak pati nonjob yang tertarik dengan tawaran itu. Apalagi jika mereka tidak punya kemampuan khusus yang dibutuhkan di sektor swasta. 

"Tentara pensiun dini tidak terlalu memiliki skill yang baik, seperti (jenderal) bintang satu atau kolonel mungkin megang laptop juga tidak biasa. Kalau di luar negeri, yang pensiun dini, tapi masih punya semangat, bisa ikut tentara bayaran. Tetapi, di kita, hal itu belum bisa dilakukan," kata Muradi.

Solusi lain adalah membuka alih status bagi perwira nonjob menjadi aparatur sipil negara (ASN). Namun, harus tetap ada tes untuk menyaring para perwira nonjob sehingga sesuai dengan kebutuhan instansi. "Kalau lolos, ya, dia berhenti dari dinas militer, beralih jadi ASN," jelasnya. 


 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan