close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi rapat paripurna DPR RI. /Foto Antara
icon caption
Ilustrasi rapat paripurna DPR RI. /Foto Antara
Peristiwa - Regulasi
Selasa, 15 Oktober 2024 06:00

Proses berlarut-larut RUU Perampasan Aset

RUU Perampasan Aset diinisiasi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi (PPATK) pada 2003
swipe

Rancangan Undang-Undangan (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana tak kunjung disahkan. Padahal, RUU yang diinisiasi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi (PPATK) pada 2003 dan mengadopsi The United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC) tersebut, sudah masuk program legislasi nasional (prolegnas) 2005-2009 dan merupakan salah satu dari 31 RUU Prolegnas Prioritas 2008. Kemudian, masuk prolegnas 2010-2014 dan 2015-2019.

Pada 2023, Presiden Joko Widodo atau Jokowi pernah mengirim Surat Presiden Nomor R22/Pres/05/2023 dan naskah RUU Perampasan Aset kepada Ketua DPR, dengan pesan agar pembahasan dan instruksi ini menjadi prioritas utama. Namun, RUU tersebut akhirnya tak jadi disahkan oleh DPR periode 2019-2024 dengan alasan terkendala keterbatasan waktu di penghujung masa jabatan.

RUU Perampasan Aset bertujuan menghadirkan cara untuk dapat mengembalikan kerugian negara, sehingga kerugian yang diderita tidak signifikan.

Menurut doktor hukum tindak pidana pencucian uang Yenti Garnasih, DPR tidak punya semangat pemberantasan korupsi. Maka, DPR berdalih RUU belum matang.

“Kemarin Ketua DPR mengatakan ‘nanti kita lihat’, ya enggak usah dilihat. Ini adalah kebutuhan yang sangat mendesak,” kata Yenti kepada Alinea.id, Jumat (11/10).

“Justru saya yang meragukan DPR. Menurut saya, DPR ini enggak mau tau atau takut dirinya, keluarganya, atau koleganya kena (kasus korupsi),” ujar Yenti.

Yenti menegaskan, tidak ada alasan lagi untuk menunda RUU Perampasan Aset. Akan tetapi, dia melihat, kondisi semakin memprihatinkan  karena ada “kolaborasi” antara DPR dan pemerintah. Dia mengingatkan, dalam catatan Transparancy International, salah satu kondisi yang membaut korupsi semakin parah adalah konflik kepentingan antara lembaga legislatif dan eksekutif.

Alasannya, kata Yenti, kedua lembaga itu akan bekerja sama untuk mewujudkan berbagai program maupun pengadaan, tetapi dengan kolaborasi keduanya, maka hampir tidak ada filter ataupun penyanggah. Akhirnya, yang ada hanya nepotisme karena kongkalikong.

Kondisi lainnya, dampak dari RUU Perampasan Aset bisa membuat semua harta kekayaan para pelaku korupsi akan digugat dan bisa diserahkan ke negara. Tentu hal ini menjadi ancaman bagi para pelaku korupsi.

“Padahal memutuskan pembangunan yang berpotensi korupsi harus ada persetujuan DPR dan inisiatifnya kan dari eksekufi. Kalau DPR saudaranya, ya habis kita,” ucap Yenti.

Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar menegaskan, pihaknya mendukung pengesahan RUU Perampasan Aset. Hal itu dibuktikan dengan Badan Pemulihan Aset Kejaksaan Agung yang masih berdiri dan bekerja untuk mengurus berbagai aset hasil sitaan dari kasus korupsi.

Harli menyebut, pengesahan RUU ini bakal berdampak signifikan bagi pemberantasan korupsi karena dapat membuat legitimasi yang lebih kuat dibanding sebelumnya. “Ya kalau kita bisa dijadikan sebagai undang-undang, saya kira akan lebih kuat kan?” tutur Harli saat ditemui Alinea.id di Kejaksaan Agung, Jakarta, Jumat (13/10).

Harli mengaku, masih menunggu pengesahan RUU Perampasan Aset. Selama masih proses pembahasan, bagi Herli, masih ada harapan untuk pemberantasan korupsi.

"Ya saya kira itu terus berlangsung lah. Artinya bagaimana kebijakan dari pemerintah,” kata Harli.

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan