

Protes UU TNI jangan direspons dengan pentungan dan borgol

Aksi mahasiswa di berbagai daerah menolak revisi Undang- Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI direspons dengan tindakan represif oleh aparat keamanan. Tak hanya oleh personel Polri, kasus-kasus kekerasan terhadap peserta aksi juga dilaporkan dilakukan personel TNI yang diperbantukan mengawal protes masyarakat sipil.
Dari 47 wilayah yang menggelar aksi demonstrasi menolak revisi UU TNI selama sepekan terakhir, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menemukan kasus kekerasan oleh aparat terjadi di 10 wilayah. Selain mahasiswa, ada juga jurnalis yang jadi korban tindakan represif aparat.
Di Surabaya, protes menolak UU TNI digelar depan Kantor Grahadi, Surabaya, Senin (24/3). Protes berlangsung ricuh setelah kepolisian membubarkan paksa aksi demonstrasi menjelang malam. Pentungan dikeluarkan, meriam air ditembakkan.
Polrestabes Surabaya sempat menangkap 25 orang usai kerusuhan. Mereka baru dibebaskan sehari setelah aksi demonstrasi. Seorang mahasiswa bernama Rizky Syahputera dilaporkan mengalami patah tulang di tangan kiri dan luka robek pada kaki kiri.
Tindakan kekerasan aparat juga mewarnai aksi demonstrasi di Semarang, Jawa Tengah, Kamis (20/3) lalu. Seorang mahasiswa mengaku menjadi korban pemukulan oleh aparat keamanan ketika mengikuti demonstrasi menolak pengesahan UU TNI di depan kompleks Kantor Gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Tengah.
Sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Rakhmat Hidayat melihat gelombang unjuk rasa yang masif terjadi di berbagai daerah mengindikasikan besarnya kemarahan publik terhadap keputusan DPR dan pemerintah mengesahkan revisi UU TNI menjadi UU. Apalagi, pengesahan RUU diwarnai beragam kontroversi, mulai dari pembahasan yang digelar di hotel mewah hingga minimnya partisipasi publik.
"Aksi di Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Malang, Purwokerto. Itu memang sangat masif. Ini menunjukkan aksi mereka mewakili kemarahan publik, mewakili kekecewaan publik terkait revisi pengesahan revisi UU TNI," kata Rakhmat kepada Alinea.id, Kamis (27/3).
Setidaknya ada tiga poin utama yang disepakati DPR dan pemerintah dalam revisi UU TNI, yakni penambahan jabatan sipil untuk personel TNI aktif, perluasan keterlibatan TNI dalam operasi militer selain perang (OMSP), perpanjangan masa pensiun perwira TNI. Masyarakat sipil menilai poin-poin revisi mengindikasikan kembalinya era dwifungsi TNI.
Rakhmat menilai demonstran yang geram dengan ulah wakil rakyat yang mengesahkan RUU TNI tidak seharusnya direpresi dengan tindakan brutal, bahkan sampai harus ditangkap. Tindakan represif dalam mengatasi demontrasi tidak sesuai dengan prinsip demokrasi.
"Mereka kecewa karena tidak didengar dan hak mengeluarkan pendapat dan berunjuk rasa dijamin undang-undang. Oleh karena itu, jika ada wacana usulan investigasi, menurut saya, itu yang harus kita sampaikan karena banyak kasus penanganan di berbagai daerah ini di luar kewajaran," kata Rakhmat.
Koalisi masyarakat sipil, kata Rakhmat, perlu membentuk tim investigasi untuk menyelidiki kasus-kasus kekerasan oleh aparat terhadap peserta unjuk rasa menolak UU TNI di berbagai daerah. Salah satu fokus penyelidikan ialah mencari tahu apakah aksi represif aparat yang masif itu terstruktur dan dikomandoi oleh pejabat tertinggi dari Polri.
"Batas-batas prosedural yang dilakukan oleh polisi itu banyak yang dilanggar. Harusnya tidak perlu diborgol, tidak perlu ditangkap, tidak perlu dibawa ke kantor kepolisian. Jadi, cukup dengan dialogis, cukup dengan melakukan blokade. Jadi, tidak perlu melakukan kekerasan dan seterusnya karena mahasiswa itu adalah anak- anak muda yang sedang mengalami puncak pemikiran dan puncak semangat," kata Rakhmat.
Evaluasi terhadap kerja personel Polri dalam menangani aksi unjuk rasa perlu dilakukan demi mencegah tindakan represif aparat tak terus berulang. "Dalam jangka panjang, akan ada aksi yang eskalasinya mungkin akan meningkat," jelas Rakhmat.
Analis politik dari Universitas Jember Muhammad Iqbal menilai aksi represif aparat dalam menangani demonstran penolak UU TNI sangat bernuansa militeristik. Dalam berbagai rekaman video, terlihat personel Brimob yang diperkuat dengan kendaraan taktis berhadapan dengan kelompok mahasiswa yang hanya "bersenjatakan" tali rafia.
"Akibatnya, kekerasan yang menimpa massa aksi di sejumlah kota saat demonstrasi menolak revisi UU TNI tak terhindarkan lagi. Mengapa kekerasan yang berujung jatuh korban luka dan penangkapan peserta aksi terus berulang terjadi? Tentu ada hierarki satu komando dari kepolisian," kata Iqbal kepada Alinea.id, Selasa (27/3).
Aksi unjuk rasa dan mekanisme untuk penanganannya sudah dirinci dalam Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2012 tentang Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum. Namun, menurut Iqbal, polisi di lapangan kerap punya tafsir sendiri menghadapi demonstran.
"Sebut saja, misalnya, ketika massa demo sudah melewati waktu senja dan terus bertahan, maka polisi punya dalih untuk membubarkan. Apa pun alasan dan argumen peserta aksi sering tidak dihiraukan lagi. Harus bubar dan pada momen itulah penggunaan kekerasan oleh polisi kerap dilakukan untuk mendesak peserta aksi mundur dan bubar," kata Iqbal.
Iqbal sepakat perlu dibentuk tim investigasi independen untuk menyelidiki kasus- kasus represif aparat dalam menangani aksi unjuk rasa mahasiswa dan masyarakat sipil di berbagai daerah. Namun, ia pesimistis Polri bakal mengubah metode penanganan aksi unjuk rasa.
"Masyarakat sipil tak salah juga bila sudah tidak percaya lagi dengan keputusan pemerintah. Tragedi Kanjuruhan dan petaka di kilometer 50, bahkan sejumlah pelanggaran HAM berat yang lebih seperempat abad terjadi, misalnya, sampai hari ini masih belum jelas dan terkesan ditutupi. Rekomendasi KomnasHAM dan DPR RI kepada presiden agar membentuk pengadilan HAM (ad-hoc) saja masih tidak terjadi dan selalu dihindari," kata Iqbal.
Lebih jauh, Iqbal memprediksi gelombang aksi protes mahasiswa dan masyarakat sipil menolak UU TNI akan terus berlanjut. Apalagi, DPR saat ini juga tengah membahas revisi UU Polri dan KUHAP yang juga potensial bermasalah.
"Ketiga, revisi UU itu semuanya dilakukan dengan tidak ada partisipasi bermakna (meaningful participation) yang benar-benar serius melibatkan publik dan kelompok masyarakat sipil. Pemerintahan Prabowo tampak kuat sekali untuk mengelola negara secara resentralisasi dan militeristik," kata Iqbal.


Berita Terkait
Kala komika bergerak ke gelanggang protes
Aksi di depan Kompleks Parlemen, massa soroti kecurangan pemilu
Protes Yogya dan arah bola salju gerakan mahasiswa
Polisi ingatkan aksi buruh jangan disusupi

