close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi deforestasi. Alinea.id/MT Fadillah
icon caption
Ilustrasi deforestasi. Alinea.id/MT Fadillah
Peristiwa - Lingkungan
Jumat, 31 Januari 2025 16:00

Di balik rapor merah pemerintahan Prabowo di sektor energi dan lingkungan

Survei Celios mencatatkan rapor merah terhadap kinerja 100 hari pemerintahan Prabowo.
swipe

Citra pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka selama 100 hari kerja, mendapat catatan positif survei Litbang Kompas beberapa waktu lalu, dengan tingkat kepuasan publik 80,9%. Namun, hasil survei Center of Economic and Law Studies (Celios) mencatatkan rapor merah.

Celios menggunakan metode penilaian lewat survei berbasis expert judgment. Panel juri terdiri dari para jurnalis yang punya wawasan mendalam tentang kinerja pemerintahan dari beragam media. Ada 95 jurnalis dari 44 lembaga pers kredibel.

Hasil survei itu, kinerja Presiden Prabowo selama 100 hari pertama dirata-rata mendapatkan rapor nilai 5 dari 10. Sedangkan Wakil Presiden Gibran dirata-rata mendapatkan rapor nilai 3 dari 10.

Secara keseluruhan, kinerja kabinet Prabowo-Gibran selama 100 hari pertama, disebut Celios, mengecewakan. Hal itu terungkap dari 7% responden menjawab sangat buruk dan 42% mengisi buruk. Hanya 42% responden yang menjawab cukup dan 8% mengisi baik.

Selain itu, survei Celios mencatat beberapa menteri berkinerja terburuk, antara lain Menteri HAM Natalius Pigai dengan -113 poin, Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi -61 poin, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia -41 poin, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni -36 poin, dan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal Yandri Susanto -28 poin.

Menurut Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira Adhinegara, salah satu penyumbang rapor merah kinerja menteri Prabowo-Gibran adalah di sektor energi dan lingkungan hidup. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia dinilai belum tegas merilis PLTU mana saja yang akan dimatikan pada 2025.

Padahal, Prabowo sudah sudah berjanji menghentikan PLTU saat KTT G20 di Brasil pada November 2024. Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni pun dinilai blunder ketika mendorong 20 juta hektare hutan untuk cadangan pangan dan energi.

“Antara masalah energi, pangan, dan lingkungan hidup ada kegagalan membaca situasi. Swasembada energi seharusnya tidak bertolak belakang dengan konservasi hutan,” ujar Bhima dikutip dari situs web Celios, Selasa (21/1).

“Kalau hutan makin hilang misalnya demi co-firing PLTU (campuran cacahan kayu), Indonesia bakal dikecam dunia internasional dan menurunkan dukungan pembiayaan global untuk konservasi hutan sekaligus transisi energi. Jelas instruksi Prabowo tidak berhasil diturunkan menjadi program implementatif yang berkualitas.”

Pakar ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menilai, belum ada hasil konkret yang dicapai pemerintahan Prabowo di sektor energi dan sumber daya mineral dalam 100 hari kerja. Padahal, Prabowo menyatakan berkomitmen mencapai swasembada energi dalam 4 hingga 5 tahun, dengan mengembangkan sumber energi yang berlimpah menjadi energi baru terbarukan (EBT).

“Masalahnya, kebijakan Menteri ESDM Bahlil tidak mendukung, bahkan bertentangan dengan komitmen Prabowo,” kata Fahmy kepada Alinea.id, Kamis (30/1).

“Kebijakan Bahlil untuk menggenjot lifting minyak dan produksi batu bara mencederai terhadap komitmen Prabowo.”

Di samping itu, inisiatif DPR yang ingin memberi konsesi tambang kepada perguruan tinggi, dinilai Fahmy, juga bertentangan dengan komitmen Prabowo yang ingin swasembada energi dari EBT.

“Karena menggenjot produksi energi kotor batu bara. Kalau Prabowo membiarkan kebijakan Bahlil dan DPR berlanjut, maka komitmen Prabowo tidak lebih sekadar omon-omon belaka,” kata dia.

Dihubungi terpisah, Deputi Eksternal Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nasional Mukri Friatna mengatakan, belum ada tanda berkurangnya deforestasi atau penghilangan luas hutan secara besar-besaran selama 100 hari kerja pemerintahan Prabowo-Gibran.

“Upayanya juga hanya pada dua sisi, yaitu rencana penanaman 3.400 hektare mengacu RAPBN 2025 dan aksi deforestasi tidak muncul angkanya. Intinya cuma penurunan deforestasi 0,2 juta hektare,” ujar Mukri, Kamis (30/1).

“Komitmen tertulis belum terlihat kecuali pidato dalam rapat kabinet di mana presiden menyebutkan segera diselesaikan secara hukum kasus-kasus tanah dan hutan lindung.”

Sementara itu, pakar ilmu tanah dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Basuki Sumawinata setuju dengan rencana pemerintah mendorong 20 juta hektare hutan untuk cadangan pangan dan energi. Sebab, lahan hutan yang ingin digunakan adalah kawasan yang kondisinya tidak berhutan lagi akibat hak pengusahaan hutan (HPH) dan penebangan liar di masa silam.

“Ingat data tahun 2023 kawasan hutan yang tidak berhutan adalah 31 koma sekian juta, kalau tidak salah 31,9 juta hektare. Jadi mengusahakan lahan tersebut bukan deforestasi baru,” tutur Basuki, Kamis (30/1).

Menurut Basuki, tidak ada yang salah dari cara memanfaatkan kawasan bekas hutan untuk cadangan pangan dan energi. Alasannya, kawasan hutan Indonesia sekitar 120 juta hektare. Artinya, lebih dari 60% wilayah daratan Indonesia.

“Sementara lahan sawah yang memberi makan untuk seluruh rakyat kira-kira 7 hingga 7,5 juta hektare, bayangkan cuma berapa persen? Coba lihat statistik USA, China, Vietnam, Tahiland, berapa persen lahan pertanian pangan mereka?” ujar Basuki.

“Jadi, program Presiden Prabowo, menurut saya, sama sekali tidak akan memperbesar laju deforestasi karena lahan yang akan dimanfaatkan adalah lahan belukar.”

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan