

Urgensi reformasi peradilan militer: "Supaya jeruk tak makan jeruk..."

Kasus-kasus pelanggaran hukum oleh personel TNI terus berulang. Maret lalu, tiga anggota Polres Way Kanan, Lampung, tewas ditembak dua prajurit TNI saat menggerebek lokasi sabung ayam di Kampung Karang Manik, Kecamatan Negara Batin, Kabupaten Way Kanan.
Beberapa bulan sebelumnya, muncul kasus penembakan bos rental mobil CV Makmur Raya, Ilyas Abdurrahman oleh seorang personel TNI AL. Ilyas diberondong peluru saat cek-cok dengan para pelaku di rest area tol Tangerang-Merak. Ketika itu, Ilyas sedang "mengejar" mobil rental yang diduga bakal dilarikan pelaku.
Kasus yang paling fenomenal terjadi lebih dari satu dekade lalu, yakni kasus penyerangan Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Cebongan, Sleman, oleh 12 anggota Kopassus Grup 2, Kandang Menjangan. Bersenjatakan laras panjang, para personel Kopassus menerobos lapas untuk memburu pembunuh rekan mereka yang diamankan polisi di lapas itu.
Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) mencatat terdapat 338 kasus kekerasan yang melibatkan anggota TNI sepanjang 2018-2022. Kejahatannya beragam, mulai dari penganiayaan, penyiksaan, hingga penembakan. Meskipun masuk dalam kategori pidana umum, mayoritas kasus disidang di peradilan militer.
PBHI dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat lainnya mendorong agar Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer direvisi demi meminimalisasi budaya impunitas terhadap kejahatan yang dilakukan oleh kalangan militer. Dengan begitu, kasus-kasus personel TNI terlibat pidana umum bisa disidangkan di peradilan sipil.
Pengamat pertahanan dan keamanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISSES) Khairul Fahmi menilai revisi UU Peradilan Militer sejalan dengan isi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Di beleid itu, sudah ada ketentuan persidangan di peradilan umum untuk personel TNI yang melanggar hukum.
"Namun, dalam menyikapi ini, kita tetap perlu berhati-hati dan menempatkan persoalan secara lebih proporsional. Tidak semua proses hukum terhadap prajurit TNI berujung pada impunitas. Bahkan, dalam banyak kasus, proses hukum di lingkungan peradilan militer justru berjalan tegas, cepat, dan menghasilkan putusan yang mencerminkan prinsip keadilan," kata Fahmi kepada Alinea.id, Kamis (3/4).
Meskipun banyak contoh kasus berkata sebaliknya, Fahmi tak memungkiri stigma adanya "impunitas" di peradilan militer masih sangat kuat. Apalagi jika kasus-kasus yang disidangkan di peradilan militer menyita perhatian publik.
"Seperti yang melibatkan warga sipil sebagai korban atau menyangkut perintah dan kepentingan institusional tertentu maupun atasan hukum. Dalam konteks inilah, kekhawatiran terhadap potensi impunitas menjadi valid, meskipun harus diakui bahwa secara kuantitatif, fenomena ini bukanlah yang dominan dalam sistem peradilan militer," kata dia.
Menurut Fahmi, revisi harus diutamakan pada pembagian peran peradilan umum dan militer. Idealnya, peradilan militer difokuskan untuk mengadili perkara-perkara yang masuk dalam kategori pidana militer, seperti desersi, insubordinasi, penyalahgunaan wewenang militer dan pelanggaran disiplin internal.
Adapun untuk tindak pidana umum--terutama yang terjadi di luar konteks tugas militer dan berdampak pada masyarakat sipil--semestinya menjadi yurisdiksi peradilan umum. Penempatan yurisdiksi ini penting untuk menjamin rasa keadilan yang imparsial, menghindari konflik kepentingan, serta memperkuat kepercayaan publik.
"Kita juga tidak bisa mengabaikan posisi dan peran dominan yang dimiliki oleh atasan hukum dalam proses peradilan militer. Atasan hukum, yang merupakan bagian dari rantai komando, memiliki kewenangan menentukan apakah seorang prajurit diserahkan ke peradilan atau tidak, mengendalikan tahapan pemeriksaan, dan bahkan menentukan eksekusi putusan," kata Fahmi.
Kontrol dari masyarakat sipil, kata Fahmi, terutama penting dalam perkara kriminal oleh prajurit TNI yang menyangkut warga sipil atau perkara yang menyita perhatian publik. Kontrol sipil bisa melalui publikasi proses persidangan, keterbukaan putusan, serta pengawasan dari lembaga eksternal seperti KomnasHAM, Ombudsman, dan lembaga ad-hoc lainnya.
Tak hanya di militer, menurut Fahmi, ada kekhawatiran budaya impunitas juga dirawat di lingkungan Polri. Dalam banyak kasus, institusi Polri berwenang menjadi "pengadil" pada tahapan prapenuntutan saat ada oknum Polri yang jadi pelaku kejahatan. Namun, sidang tetap dijalankan di peradilan umum.
"Ini menimbulkan kekhawatiran serupa akan konflik kepentingan, atau istilah yang sering digunakan publik: “jeruk makan jeruk”. Karena itu, dalam perkara pidana umum—baik oleh prajurit TNI maupun personel Polri—penting memastikan bahwa proses penanganan benar-benar imparsial, bebas dari dominasi institusi asal pelaku, dan membuka ruang bagi supervisi pihak lain," jelas Fahmi.
Fahmi menegaskan keinginan untuk mempersempit ruang impunitas tidak boleh serta-merta dijadikan alasan untuk melemahkan institusi militer. Pasalnya, TNI adalah institusi negara yang dibangun dengan disiplin, loyalitas, solidaritas, dan kehormatan korps. Niat mereformasi TNI, tak boleh justru mengikis nilai-nilai fundamental yang menjadi pilar kekuatan militer.
"Pembenahan sistem peradilan militer seharusnya diiringi dengan penguatan kapasitas sipil, termasuk penataan peradilan umum. Faktanya, tidak ada jaminan bahwa peradilan umum otomatis lebih baik atau bebas dari masalah. Sistem hukum kita secara keseluruhan masih menghadapi tantangan besar dalam hal transparansi, integritas, dan akses keadilan," kata Fahmi.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisaksi, Abdul Fickar Hadjar sepakat perlunya ada pemisahan kewenangan di peradilan militer. Menurut dia, peradilan militer semestinya hanya mengadili kasus-kasus pelanggaran hukum yang terkait institusi.
"Oleh karena itu, Undang-Undang Peradilan Militer itu harus diperbaiki diubah untuk menyerahkan kompetensi perbuatan pidana yang tidak berkaitan dengan kemiliteran ditangani oleh peradilan umum," kata dia kepada Alinea.id.
Perbuatan pidana yang dilakukan personel TNI aktif yang tidak berkaitan dengan kemiliteran, menurut Fickar, akan lebih tepat ditangani oleh peradilan umum.
"Peradilan militer itu sesungguhnya pada mulanya itu peradilan perang karena itu tidak kompatibel lagi dengan kejahatan-kejahatan di ranah sipil," kata Fickar.


Tag Terkait
Berita Terkait
Zarof Ricar dan urgensi penguatan Komisi Yudisial
Jokowi belum berencana revisi UU Peradilan Militer
KY minta akses keterbukaan sidang tragedi Kanjuruhan
Realita korup ruang sidang: "Semakin tinggi pengadilannya, semakin tinggi biayanya..."

