Tentara Nasional Indonesia (TNI) kian aktif terlibat dalam program-program ketahanan pangan di pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka (Prabowo-Gibran. Teranyar, TNI tengah mempersiapkan pembentukan Brigade Pangan bersama Kementerian Pertanian (Kementan).
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengungkapkan sudah ada 23 ribu orang mendaftar dalam program Brigade Pangan. Setelah lulus dibina TNI, para personel Brigade Pangan akan ditempatkan secara bertahap sesuai dengan jumlah sarana dan lahan yang tersedia.
"Sekarang ini ada 23 ribu yang mendaftar. Kami terima secara bertahap, tidak sekaligus. Mudah-mudahan ke depan ini bisa lebih maju lagi dan bisa lebih banyak lagi pemuda yang ikut. Nanti TNI akan menjadi motivator untuk kedisiplinan,” ujar Amran kepawa wartawan di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, Jumat (22/11) lalu.
Untuk mendukung Astacita Prabowo-Gibran di bidang pangan, TNI tengah membentuk pasukan ketahanan pangan. Setidaknya sudah ada lima Batalyon Infanteri Penyangga Daerah Rawan dibentuk. Kelima batalyon itu ditugaskan di Papua. Selain menjaga keamanan, unit itu dibentuk untuk membangun ketahanan pangan di daerah-daerah rawan konflik.
Di sejumlah daerah di Jawa, personel TNI juga dilibatkan dalam program-program ketahanan pangan lokal. Di Jawa Timur, misalnya, Komando Daerah Militer (Kodam) V/Brawijaya sudah "membuka" 200 hektare lahan pertanian produktif dan menghibahkan alat dan mesin pertanian bagi petani setempat. Targetnya hingga 5.000 hektare.
Dalam kunjungan kerja ke Kodam IV/Diponegoro, Bulusan, Tembalang, Semarang Jawa Tengah, Kamis (21/11) lalu, Panglima TNI Agus Subiyanto mengatakan TNI bakal mengoptimalkan sekitar 358 ribu hektare lahan produktif yang tersebar di berbagai kodam untuk menyokong program ketahanan pangan pemerintah.
"TNI telah mengoptimalkan 358 ribu hektar lahan pertanian dan juga menargetkan pompanisasi untuk lahan pertanian seluas 1,1 juta hektare, di mana saat ini sudah mencapai 908 ribu hektare lahan pertanian yang terairi," kata Agus.
Selain di ranah produksi, TNI juga bakal dilibatkan dalam program program makan bergizi gratis yang dicanangkan Prabowo. Sebanyak 2.000 personel dari Akademi Militer serta Pusat Kesenjataan Infanteri atau Pusenif tengah disiapkan untuk ditugaskan mengawal seluruh lokasi makan bergizi gratis.
Pengamat militer dari Universitas Kristen Indonesia (UKI), Sidra Tahta mengkritik keterlibatan TNI yang terlalu jauh di bidang pangan. Menurut dia, tugas-tugas membangun ketahanan pangan lebih tepat diserahkan kepada lembaga-lembaga sipil.
“Pemberdayaan TNI dibutuhkan manakala di kalangan masyarakat kurang mampu mengelola food estate. Saya masih yakin masyarakat agraris Indonesia mampu menjadi bagian utama dari tata kelola bidang pertanian secara profesional,” ujar Sidra kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
Menurut Sidra, pemerintahan Prabowo terkesan ingin melibatkan TNI dalam berbagai program yang semestinya dipegang oleh kalangan profesional sipil. Ia khawatir akan ada konflik antara aparatur sipil negara dan unsur militer ketika menggarap proyek-proyek Prabowo. Saling rebut jabatan dan peran di pemerintahan pun sangat mungkin terjadi.
“Filosofi tugas TNI dan aparat sipil beda. Militer ditentukan oleh sistem komando sementara sipil pelayan negara dan masyarakat. Ia dapat menjangkau langsung obyek yang dilayani tanpa menunggu komando seperti TNI,” jelas Sidra.
Keberpihakan Prabowo terhadap militer terutama terasa di Badan Gizi Nasional yang baru dibentuk. Para petinggi di badan itu didominasi oleh purnawirawan TNI. Posisi Wakil Kepala Badan Gizi Nasional, misalnya, diisi oleh Mayor Jenderal TNI (Purn) Lodewyk Pusung, salah satu orang dekat Prabowo.
Selain itu, Prabowo juga menempatkan Brigadir TNI (Purn) Sarwono menjadi Sekretariat Utama Badan Gizi Nasional. Sarmono pernah menjabat Direktur Bela Negara Kementerian Pertahanan di masa kepemimpinan Prabowo.
Pengamat militer dari Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lesperssi) Beni Sukadis sepakat keterlibatan TNI yang terlalu jauh dalam program-program yang di luar tupoksi militer tidak tepat. Dalam jangka panjang, ia khawatir hal itu bakal berpengaruh buruk pada profesionalisme dan kemampuan militer secara menyeluruh.
"Militer dilatih dan dimandatkan menggunakan koersif dalam keadaan perang. Dalam keadaan damai, TNI lebih cocok tugas keamanan dan mitigasi bencana, bukan tugas seperti penyuluh pertanian, pendidikan, apalagi diperbantukan pada tugas yang sebenarnya adalah kompetensi dari dinas-dinas pemerintah daerah,” ujarnya kepada Alinea.id, Jumat (23/11).
Ketimbang menjalankan program-program di luar tupoksinya, menurut Beni, sebaiknya TNI fokus merumuskan kembali jati diri mereka di era modern. Itu bisa dilakukan dengan mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan organisasi dan sumber daya manusia (SDM) di tubuh TNI.
"Seharusnya juga perlu untuk merumuskan kebijakan strategis terkait perencanaan jangka menengah maupun panjang dalam pengembangan organisasi, SDM dan alutsista TNI. Khususnya dalam pengembangan SDM, sudah seyogyanya militer berlatih, bukan melakukan pekerjaan atau tupoksi yang merupakan wewenang pemerintah daerah atau pusat,“ tegasnya.