close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi personel Brimob Polri. /Foto Antara
icon caption
Ilustrasi personel Brimob Polri. /Foto Antara
Peristiwa
Senin, 17 Maret 2025 14:05

Saat polisi menjadi penjahat...

Kasus pencabulan anak berusia 6 tahun oleh Kapolres Ngada menghebohkan publik.
swipe


Kasus tindak pidana yang pelakunya oknum kepolisian kembali terjadi. Teranyar, Kepala Polres (Kapolres) Ngada nonaktif Ajun Komisaris Besar Fajar Widyadharma Lukman diduga mencabuli sejumlah korban, termasuk di antaranya seorang anak berusia 6 tahun.

Kasus tersebut terungkap setelah Fajar mengirimkan video pencabulan tersebut ke sebuah situs pornografi di Australia. Penyidik menjerat Fajar dengan Pasal 6 huruf C dan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dengan ancaman hukuman 12 tahun penjara. 

Kasus lain yang tak kalah menghebohkan adalah dugaan pembunuhan bayi yang dilakukan oleh seorang polisi di Jawa Tengah. Pelaku peristiwa itu adalah Brigadir AK, anggota Polda Jateng. AK diduga membunuh anak kandungnya yang baru berusia dua bulan pada 2 Maret 2025 di sekitar Pasar Peterongan, Kecamatan Semarang Selatan, Kota Semarang.

Insiden ini terjadi saat ibu korban, DJP, meninggalkan bayinya bersama AK di dalam mobil untuk berbelanja. Namun, saat kembali, DJP mendapati anaknya dalam kondisi bibir membiru. Saat ditanya perihal kondisi anaknya tersebut, AK mengatakan, sang anak sempat tersedak dan gumoh.

Setelah dilarikan ke rumah sakit, bayi tersebut mengalami gagal napas dan meninggal pada 3 Maret 2025. DJP yang merasa ada kejanggalan akhirnya melaporkan AK ke Polda Jateng pada 5 Maret 2025. Polisi pun melakukan ekshumasi terhadap jasad bayi itu untuk menyelidiki penyebab kematiannya. AK telah ditempatkan dalam tahanan khusus selama 30 hari ke depan. 

Ada pula kasus polisi terlibat peredaran narkoba. Direktorat Reserse Narkoba Polda Kepulauan Riau (Kepri) menangkap seorang anggota Provost Polresta Tanjungpinang berinisial Briptu SS (29) yang diduga terlibat dalam jaringan peredaran narkoba jenis sabu. Briptu SS ditangkap bersama istrinya, AA (28), di sebuah kos-kosan di kawasan Sei Panas, Kota Batam, Kamis (6/3) lalu. 

Pengamat kepolisian dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Andy Ahmad Zaelany mengatakan fenomena anggota polisi yang menjadi pelaku kriminal atau melanggar hukum merupakan indikasi kuat tak berjalannya reformasi kultural di tubuh kepolisian. Polri terkesan masih belum serius menjalankan pola rekrutmen yang profesional. 

"Rekrutmen masih dilangsungkan dengan pola lama. Isu-isu tentang penggunaan uang dan orang dalam masih sering terdengar. Sejauh mana kebenarannya, harus dicek di lapangan. Padahal, pernyataan dari pihak Kapolri selalu ingin meningkatkan profesionalitas," kata Andy kepada Alinea.id, Sabtu (16/3).

Andy mengatakan materi penyelenggaran pendidikan dan pelatihan (diklat) di kepolisian harus direvisi dan memasukan pembinaan karakter dan pelayanan masyarakat dalam kurikulum. Tidak hanya dalam bentuk kuliah, Polri juga mesti menggelar pelatihan-pelatihan yang fungsinya membentuk kepribadian seorang polisi. 

"Diklat itu biayanya tinggi dan jarang penyelenggaraannya sehingga dia hanya mengikuti seniornya, misalnya ketika melakukan tilang, penanganan kriminalitas. Jadi, pengetahuan personel minimal untuk menjalankan tugasnya," kata Andy. 

Personel Polri harus punya karakter yang kuat dan tahan godaan karena kewenangannya yang beririsan dengan pelayanan publik. Andy mencontohkan barang bukti narkoba hasil sitaan yang bertumpuk-tumpuk bisa diperdagangkan atau dikonsumsi sendiri oleh oknum polisi. 

"Uang sitaan atau barang sitaan bisa digelapkan untuk keperluan pribadi. Penanganan kriminalitas, memberantas kegiatan atau perdagangan ilegal, tilang lalu lintas dan lainnya juga bisa digunakan untuk memperoleh uang. Dengan pengawasan yang lemah terhadap polisi godaan itu menemukan jalan mudah untuk terwujud," kata Andy.

Pemerhati kepolisian Poengky Indarti mengamini maraknya fenomena anggota polisi menjadi pelaku kriminal. Fenomena itu sangat pelik karena terkait masalah reformasi kultural Polri yang tidak berjalan. Atasan juga turut berkontribusi membuat polisi tidak profesional karena tidak memberikan teladan dan membiarkan anak buah melakukan kesalahan tanpa sanksi yang tegas.

"Kedua, perlu me-review proses seleksi calon anggota Polri dan proses pendidikannya dengan memastikan semua anggota Polri yang diterima itu sehat jasmani dan rohani,memiliki sifat- sifat yang melayani, mengayomi, melindungi masyarakat dan menegakkan hukum, serta memastikan seluruh anggota Polri menghormati hak asasi manusia," kata Poengky kepada Alinea.id

Dia menilai institusi Polri harus memastikan dalam setiap penugasan, seluruh anggota harus selalu mendapatkan bimbingan, contoh teladan dan pengawasan ketat. Pengawasan melekat dari atasan serta pengawasan internal juga harus benar-benar dilaksanakan. 

"Dengan demikian jika ada anggota yang terlihat melenceng, dapat segera ditindak tegas. Reformasi kultural Polri harus kembali dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Pimpinan Polri harus tegas memproses hukum anggota yang melanggar. Tidak cukup dengan etik atau disiplin, melainkan juga harus dengan pidana dengan pemberatan hukuman," kata Poengky. 

Pongky menilai motif banyak anggota polisi menjadi pelaku kriminal atau melanggar hukum adalah karena "rakus". Oknum-oknum polisi itu menyalahgunakan kewenangan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. "Sehingga mereka arogan dan pamer (flexing)," kata Poengky. 

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan