

Saat TNI eksis di "bangku sekolah"

Kerja sama Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat atau TNI AD Komando Daerah Militer (Kodam) IX/Udayana dengan Universitas Udayana (Unud), Bali, memicu kontroversi. Poin-poin dalam dokumen kerja sama itu dianggap membuka jalan bagi militer untuk mendominasi ranah akademik.
Kerja sama itu tertuang dalam dokumen perjanjian nomor B/2134/UN14.IV/HK.07.00/2025. Ditandatangani pada awal Maret lalu, perjanjian kerja sama itu baru diumumkan ke publik lewat akun Instagram resmi Unud, Rabu (26/3) lalu.
Terdiri dari 20 pasal, dokumen itu menyebutkan enam ruang lingkup kerja sama antara Unud dan Kodam IX/Udayana, di antaranya peningkatan sumber daya manusia, pertukaran data dan informasi, hingga pelatihan bela negara.
Kerja sama itu diprotes keras Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unud. Dokumen perjanjian dianggap mengandung pasal-pasal bermasalah.
Salah satunya isi Pasal 4 ayat 3 dalam dokumen itu. Disebutkan pada pasal itu, Kodam IX/Udayana dapat mengirim prajurit aktif untuk mengikuti perkuliahan di Unud mulai dari strata satu (S-1) hingga strata tiga (S-3).
Klausul-klausul lain yang diprotes ialah terkait peluang bagi Kodam IX/Udayana untuk meminta data semua mahasiswa baru di Unud serta melakukan pembinaan teritorial kepada kalangan mahasiswa.
"Penolakan ini muncul sebagai respons kekhawatiran kami terhadap masuknya unsur militerisasi dalam institusi pendidikan, yang seharusnya tetap netral dan bebas dari kepentingan sektoral tertentu,” kata Ketua BEM Udayana I Wayan Arma Surya Darmaputra dalam pernyataan tertulis, akhir Maret lalu.
Di Jawa Barat, peluang kerja sama antara institusi pendidikan dan militer juga diwacanakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. Dedi berencana memberlakukan wajib militer bagi murid-murid sekolah menengah atas di provinsinya.
Mulai tahun depan, setiap sekolah setingkat SMA akan dilengkapi dengan pembina yang berasal dari personel TNI dan Polri. Dedi berdalih kehadiran anggota TNI dan Polri di setiap sekolah bertujuan untuk membentuk karakter bela negara di kalangan siswa.
"Program ini dirancang untuk membentuk karakter siswa sekaligus menggali potensi mereka dalam berbagai bidang," ujar Dedi dalam sebuah siaran pers, Maret lalu.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menilai kerja sama Unud dan Kodam lX/Udayana tak bisa dilepaskan dari konteks perluasan peran militer di ranah sipil sebagaimana kesepakatan pemerintah dan DPR dalam revisi UU TNI.
Meskipun masih dalam lingkup bela negara, Ubaid khawatir kerja sama model itu direplikasi di kampus-kampus lain dan berujung pada normalisasi militerisasi pendidikan.
"Pelatihan bela negara berpotensi menjadi pintu masuk indoktrinasi nilai-nilai militer, terutama karena TNI memiliki kewenangan penuh dalam pelaksanaannya," kata Ubaid kepada Alinea.id, Sabtu (5/4).
Ubaid juga mempersoalkan klausul yang memungkinkan TNI mengakses data mahasiswa baru. Poin kerja sama itu berisiko mengancam privasi dan dijadikan semacam alat pengawasan terhadap mahasiswa yang kritis kepada pemerintah.
"Agenda ini jelas ancaman terhadap kebebasan akademik. Saat ini, kelompok yang masih menentukan adalah mahasiswa. Masih banyak suara kritis dan demonstrasi yang dilancarkan mahasiswa. Kerja sama ini bisa saja mengarah pada agenda pembungkaman mimbar kebebasan kampus," kata Ubaid.
Kehadiran militer di kampus, kata Ubaid, seolah mengulang program Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kampus NKK/BKK yang dijalankan pemerintahan Orde Baru pada dekade 1970-an. Program itu dijalankan Presiden Soeharto untuk membatasi aktivitas politik mahasiswa.
"Apalagi jika TNI terlibat dalam pengambilan keputusan akademik, hal ini bertentangan dengan prinsip Tri Dharma Perguruan Tinggi. UU Nomor 12/2012 menjamin otonomi akademik, yang bisa terancam jika intervensi militer tidak dibatasi," kata Ubaid.
Oleh karena itu, Ubaid menilai kerja sama Unud-TNI AD adalah ujian bagi demokrasi di pendidikan tinggi. Jika tidak dikelola dengan transparan, hal ini berisiko menggerus independensi kampus dan mengulang sejarah kelam militerisasi di era Orde Baru.
"Masuknya militer ke kampus ini, jika dibiarkan, pelan tapi pasti, potensial akan melemahkan supremasi sipil dan menguatkan dominasi militer," kata Ubaid.
Pakar hukum Universitas Brawijaya (Unibraw) Aan Eko Widiarto cengkeraman militer yang luas di ranah sipil, termasuk di institusi pendidikan, bakal mempengaruhi persepsi publik ke depan. Publik bakal menganggap pendidikan militer sebagai sebuah keniscayaan.
Terlebih, revisi UU TNI terbaru yang menambah pos sipil yang bisa dijabat oleh perwira TNI aktif. Artinya, masyarakat bakal menganggap anak-anak yang bersekolah di institusi militer kini punya masa depan yang cemerlang.
"Dari sisi pendidikan, ini akan mempengaruhi persepsi publik tentang penyerapan lulusan yang berasal dari khususnya akademi militer atau pendidikan yang identik atau punya afiliasi dengan militer. Kalau di SMA itu SMA Taruna Nusantara atau SMA yang memang bisa masuk ke akademi militer," kata Aan kepada Alinea.id, Sabtu (5/4).
Di luar itu, Aan berpendapat militerisme di ranah sipil akan berdampak negatif pada eksistensi TNI sendiri dalam sistem ketatanegaraan. Dalam negara demokrasi, militer harus di bawah kendali sipil.
"Dalam sistem ketatanegaraan kita, tentu yang tertinggi adalah kedaulatan rakyat sebagaimana ini UUD 1945. Jadi kalau pengaruh pendidikan hanya sebagian kecil. Tapi yang paling luas adalah soal eksistensi atau kedudukan TNI itu sendiri," kata Aan.


Berita Terkait
Kian cekak pendapatan kampus swasta
"Kami dituntut cetak Indonesia emas, tapi hak tukin gak jelas..."
Yang harus diperhatikan dari pengangkatan guru besar oleh perguruan tinggi
Raffi Ahmad dan apa pentingnya memberi gelar kehormatan kepada selebritas?

