close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi senjata api. Alinea.id/Amifta.
icon caption
Ilustrasi senjata api. Alinea.id/Amifta.
Peristiwa
Rabu, 11 Desember 2024 12:12

Saatnya mengakhiri "teror" senjata api polisi

Senjata kejut listrik bisa jadi opsi untuk menggantikan senjata api di kepolisian.
swipe

Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Tengah akhirnya menjatuhkan putusan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) kepada Aipda Robig Zaenudin (RZ). Robiq divonis melanggar aturan karena menembak mati siswa sebuah sekolah menengah kejuruan (SMK) berinisial GRO di Semarang, Jawa Tengah, Senin (9/12) lalu. 

GRO ditembak saat terlibat tawuran. Nahasnya, Aipda Robiq bukan berasal dari unit Sabhara yang salah satu tugasnya mengurusi tawuran, tetapi berasal Satres Narkoba Polrestabes Semarang yang kebetulan melintas di lokasi tawuran. 

Maret lalu, penggunaan senjata api yang brutal oleh aparat polisi juga menelan korban jiwa. Ketika itu, polisi menembak mati seorang terduga begal bernama Romadon di Desa Badak, Lampung Timur, Provinsi Lampung. Sadisnya, Romadon dieksekusi di depan kedua orang tua, anak, dan istrinya.

Setidaknya ada lima personel Polda Lampung yang diduga terlibat dalam kasus penembakan Romadon. Kelimanya kini tengah menanti keputusan setelah kepolisian menggelar sidang etik. Bukan tidak mungkin kasus itu masuk ke meja hijau lantaran keluarga korban sudah melapor ke Kompolnas. 

Wakil Koordinator Bidang Eksternal Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Andi Muhammad Rezaldi menilai rentetan penyalahgunaan senjata api oleh polisi hingga berujung maut semestinya tak sekadar disanksi etik. 

Andi memandang senjata api di tangan polisi kini telah menjadi alat teror. Bersenjatakan pistol, oknum-oknum polisi bertindak sebagai algojo di tengah masyarakat yang seenaknya menghukum terduga pelaku kejahatan dan melompati prosedur hukum yang ideal. 

"Saya kira ini (penggunaan senjata api yang menewaskan warga sipil) bukan masalah individu semata, melainkan masalah sistemik," kata Andi kepada Alinea.id, Selasa (10/12).

Andi menilai DPR dan pemerintah perlu mengevaluasi pengunaan senjata api oleh polisi. Selain itu, Mabes Polri perlu menindak tegas oknum-oknum yang terbukti menggunakan senpi secara semberono, baik dari sisi etik maupun pidana. 

"Ketiga pelatihan polisi harus diperbarui dengan menekankan penggunaaan kekuatan yang proporsional serta penghormatan terhadap hak asasi manusia," kata Andi. 

Andi menilai kekerasan aparat dengan senjata api yang berujung maut adalah masalah serius yang harus dihentikan. Seiring itu, Polri juga perlu menyusun langkah-langkah strategis untuk reformasi institusi dan memperbaiki citranya di mata publik.

"Saya kira ini soal nyawa rakyat. Bukan sekadar pelanggaran biasa. Semestinya kepemilikan dan penggunaan senjata api oleh anggota Polri dibatasi serta hanya diberikan pada divisi atau unit yang menangani tugas dengan risiko tinggi," kata Andi. 

Ketua Indonesian Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso sepakat perlu ada evaluasi terhadap penggunaan senjata api di tangan polisi. Pasalnya, aturan baku yang dikeluarkan Kapolri terkait senpi kerap tak ditaati. 

Polri, kata Sugeng, harus mencoba alat lain selain senjata api yang mampu melumpuhkan terduga pelaku kejahatan, namun tidak mematikan. Ia mencontohkan seperti senjata kejut listrik. 

"Bisa bikin lumpuh, tapi tidak mengakibatkan kematian," kata Sugeng kepada Alinea.id.

Penggunaan senpi pada institusi Polri diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Ada tahapan yang mesti dilalui oleh seorang polisi bersenjata sebelum bisa meletuskan senjata, mulai dari perintah lisan kepada terduga pelanggar untuk meletakkan senjata, hingga tembakan peringatan. 

"Peringatan tembak ke udara untuk menekan psikologi terduga pelanggar. Kemudian menembak kaki untuk melumpuhkan. Baru kemudian menembak tubuh apabila ancaman sudah semakin nyata," kata Sugeng. 

Selain evaluasi dan penguatan regulasi, menurut Sugeng, pengawasan dari atasan terhadap personel di lapangan juga mesti diperketat. Jika diperlukan, para polisi pemegang senjata api dievaluasi kondisi kejiwaannya setiap enam bulan sekali. 

"Atasan harus mengawasi secara ketat perkembangan kondisi kejiwaan psikis dari anggotanya dari waktu ke waktu," kata Sugeng. 

Kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) Arthur Josias Simon Runturambi mengatakan rentetan penyalahgunaan senjata oleh polisi yang berujung maut mesti segara direspons Mabes Polri dengan memperketat penggunaan senjata api yang tidak pada tempatnya. 

"Seperti tidak saat tugas, operasi, keadaan terdesak. Penggunaan senpi harus menjadi bagian dari protap yang jelas sehingga penyalahgunaan di area publik dapat dipertanggungjawabkan," kata Josias. 
 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan