Baru saja disahkan, revisi Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) sudah langsung digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kamis (20/3) lalu, tujuh mahasiswa fakultas hukum Universitas Indonesia (UI) mengajukan permohonan uji materi terhadap UU kontroversial itu.
Mereka meminta MK untuk membatalkan norma-norma baru di dalam pasal-pasal yang direvisi. Setidaknya ada tiga poin perubahan di dalam UU TNI, yaitu terkait dengan peran baru TNI di operasi militer selain perang, perpanjangn usia pensiun prajurit, dan penempatan anggota TNI pada jabatan sipil.
Para penggugat beralasan pembentukan UU TNI melanggar asas-asas yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Salah satunya asas keterbukaan. Karena itu, validitas atau legitimasi dari UU TNI tersebut patut dipersoalkan.
Pakar hukum tata negara Universitas Mulawarman (Unmul) Herdiansyah Hamzah Castro menilai gugatan uji formil UU TNI memiliki peluang dikabulkan MK. Ia sepakat proses penyusunan RUU itu di DPR tidak terbuka dan tidak melibatkan partisipasi publik yang bermakna.
"Dia tidak transparan dan tidak akuntabel. Bahkan, sampai hari ini rasanya kita susah dapat draftnya. Dilaksanakan di hotel-hotel. Kita tahu proses pembahasannya. Ada yang disembunyikan," kata Herdiansyah kepada Alinea.id, Sabtu (23/3).
Herdiansyah mengatakan proses yang pembahasan revisi UU TNI yang tidak transparan merupakan indikasi ada intensi jahat dalam pembentukan perundang-undangan. Intensi jahat itu adalah memberi karpet merah TNI kembali merecoki bidang sosial, politik, dan sipil.
UU TNI, kata Herdiansyah, bisa bernasib sama dengan UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Dalam putusan No 91/2020, MK menyatakan UU Cipta Kerja cacat formil dan bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ”tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan diucapkan".
"Dalam sisi subtansi dan materil, UU TNI juga bermasalah, terutama dalam ketentuan TNI yang diberikan ruang di Kejaksaan Agung. Soal usia pensiun juga tidak ada hal yang urgen. Bahkan, di naskah akademik juga tidak menjelaskan kenapa itu urgen," kata Herdiansyah.
Herdiansyah berharap MK membatalkan revisi UU TNI. Terlebih, revisi UU TNI jelas-jelas memperluas peran TNI di ranah yang harusnya dikuasai pihak sipil. "Enggak mungkin ada demokrasi kalau militer masuk dalam ranah politik," imbuh dia.
Dia menilai gerakan rakyat yang masif harus dilakukan untuk mendesak MK membatalkan revisi UU TNI. Masih ada kemungkinan putusan MK tidak selaras dengan aspirasi publik ketika terjadi operasi politik dari DPR dan pemerintah.
"Kita juga tidak bisa terjebak dalam cara melawan di kanal mahkamah. Mengajukan gugatan ke MK itu bagus, tetapi aksi- aksi yang meluas dan masif harus dilakukan. Jadi, MK itu seolah-olah jadi keranjang sampah DPR dan pemerintah," kata Herdiansyah.
Senada, Direktur Pusat Studi Konstitusi, Demokrasi dan Masyarakat (SIDEKA) Fakultas Syariah UIN Samarinda, Suwardi Sagama menilai proses revisi UU TNI yang terburu-buru dan minim partisipasi publik melanggar isi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP). Ia optimistis MK mengabulkan uji materi UU tersebut.
"Bukan tidak mungkin, seperti gugatan UU Cipta Kerja, MK mengabulkan uji formil. Namun ,jangan sampai hanya senang sesaat. Jika belajar seperti UU Cipta Kerja, yang harusnya UU Cipta Kerja diperbaiki, tetapi UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang justru direvisi," kata Suwardi kepada Alinea.id, Sabtu (23/3).
Suwardi juga sependapat jika gugatan UU TNI ke MK harus dikawal oleh gerakan rakyat yang masif. "Hal ini untuk menegaskan bahwa produk hukum UU TNI yang sudah direvisi dan diundangkan tanpa melalui proses yang sewajarnya peraturan dibuat," kata Suwardi.