close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi PLTN. Alinea.id/Muji Prayitno.
icon caption
Ilustrasi PLTN. Alinea.id/Muji Prayitno.
Peristiwa
Jumat, 28 Februari 2025 12:11

Seberapa dekat kita dengan energi nuklir?

Presiden Prabowo mempromosikan energi nuklir saat berpidato di penutupan kongres Partai Demokrat.
swipe

Sejumlah proposal untuk kerja sama pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) sudah diterima pemerintahan Indonesia. Wakil Ketua Umum Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aryo Djojohadikusumo mengatakan setidaknya ada tiga negara yang sudah menyatakan minat untuk membangun PLTN di Indonesia. 

"Dari Amerika, Westinghouse Nuclear, sudah ada yang bermitra dengan Kadin (Kamar Dagang Indonesia)," kata Aryo dalam konferensi pers di sela-sela Indonesia Green Energy Investment Dialogue 2025 di Jakarta, Kamis (27/2).

Proposal kerja sama juga datang dari Rusia dan Tiongkok. Dari Rusia, Sekretaris Dewan Keamanan Rusia Sergei K. Shoigu sudah menyampaikan minat untuk bekerja sama membangun PLTN saat bertemu Presiden Prabowo Subianto di Jakarta, Rabu (25/2) lalu.

Jika diterima, Rusia bakal menunjuk Rosatom State Atomic Energy Corporation untuk mengeksekusi pembangunan PLTN di Indonesia. Saat ini, Rosatom sudah punya kontrak membangun PLTN di sejumlah negara di Asia, semisal India dan Vietnam. 

Dari Tiongkok, proposal kerja sama untuk pembangunan PLTN telah ada di tangan Ketua Umum Kadin Anindya Bakrie. Proposal itu disampaikan kepada Anindya saat ia berkunjung ke China pada November 2024. 

"Anindya Bakrie bersama dengan anggota-anggota Kadin yang lain bertemu dengan China National Nuclear Corporation (CNNC), BUMN yang kebetulan monopoli di bidang nuklir," kata Aryo. 

Niat mengakselerasi pembangunan PLTN sebelumnya diungkap Presiden Prabowo Subianto saat memberikan sambutan di penutupan Kongres Partai Demokrat di Ballroom The Ritz-Carlton Jakarta, Pacific Place, Jakarta, Selasa (25/2).

"Nuklir bukan hanya untuk senjata. Nuklir untuk kesehatan, nuklir untuk benih-benih padi dan nuklir untuk energi. Energi terbarukan dan energi paling bersih di antaranya nuklir," ujar Prabowo. 

Wacana mempercepat pembangunan PLTN sudah menyeruak di pengujung pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Tahun lalu, Jokowi menginstruksikan pembentukan tim percepatan Ketua Tim Percepatan Persiapan dan Pembangunan PLTN di Indonesia atau Nuclear Energy Program Implementation Organization (NEPIO). Tim itu diketuai Luhut Binsar Pandjaitan. 

Jauh sebelumnya, pemerintah sudah menggelar sejumlah kajian untuk mencari calon tapak PLTN. Salah satunya ialah di Pulau Gelasa, sebuah pulau tak berpenghuni yang terletak di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Kapan pembangunan PLTN bakal direalisasikan? 

Tak seperti pada era pemerintahan sebelumnya, pemerintahan Prabowo tampaknya serius merealisasikan pembangunan PLTN. Dalam dokumen Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) yang disahkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia pada 29 November 2024, energi nuklir masuk ke dalam bauran ketenagalistrikan nasional demi tercapainya target net zero emission (NZE).

Pada 2060, Kementerian ESDM menargetkan sudah terbangun PLTN dengan kapasitas 35 gigawatt elektrik (GWe) yang mampu memproduksi listrik hingga mencapai 276 terawatt-hour (TWh). Dari kapasitas total semua pembangkit listrik, bauran energi nuklir mencapai 7,9%. 

Dalam rapat dengar pendapat di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, akhir Januari lalu, Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung mengungkapkan pengembangan PLTN ditargetkan akan dimulai pada periode  2029-2032 sejalan dengan rekomendasi Dewan Energi Nasional (DEN). 

"Bauran EBT akan terus meningkat mulai sekitar 16% pada tahun 2025 dan meningkat menjadi 74% pada tahun 2060. Pada tahun 2044, bauran EBT mencapai 52% atau lebih besar dari bauran energi fosil," kata Yuliot. 

Aksi protes wacana pembangunan PLTN di Kalimantan Barat. /Foto dok. Walhi Kalbar

Apakah publik setuju Indonesia membangun PLTN?

Salah satu kendala pembangunan PLTN sejak dulu ialah persetujuan dari masyarakat. Meskipun sempat memicu protes keras, penerimaan publik terhadap energi nuklir terus membaik. Pada 2017, survei yang dilakoni Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) menemukan sebanyak 77,53% penduduk Indonesia setuju pembangunan PLTN. 

Batan rutin menyurvei penerimaan masyarakat terhadap energi nuklir sejak 2011. Pada 2011, tercatat hanya 49,5% penduduk Indonesia yang setuju pembangunan PLTN. Setahun berselang, angkanya naik menjadi 52,9% dan menjadi 64,1% pada 2013. Pada 2014, persepsi publik terhadap PLTN kembali naik menjadi 72%. Pada 2015, sebanyak 75,3% penduduk sepakat PLTN dibangun. 

Namun demikian, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa meminta pemerintah transparan dalam menjalankan pembangunan PLTN. Secara khusus, ia menyoroti rencana pembangunan PLTN thorium di Pulau Gelasa oleh  PT Thorcon Power Indonesia (TPI). 

Dari hasil penelusuran, menurut Fabby, TPI tak punya rekam jejak menggarap proyek sejenis di tempat lain. Ia khawatir Indonesia dijadikan sebagai lokasi pilot project perusahaan asal Inggris itu untuk menguji coba teknologi barunya lewat proyek PLTN di Gelasa.

“Belum pernah ada pilot project. Karena itu, rencana pembangunan PLTN ini tak ubahnya menjadikan Indonesia sebagai project pertama perusahaan. Inilah pentingnya supaya semua dokumen itu dibuka, biar publik juga bisa melihat secara kritis dan memberi masukan,” kata Fabby seperti dikutip dari Mongabay.

Apakah kita perlu energi nuklir?

Meskipun kerap diwarnai pro dan kontra, sejumlah riset menunjukkan energi nuklir dibutuhkan oleh negara-negara yang serius mencapai target NZE. Dalam sebuah opini di Kompas, mahasiswa doktoral Nuclear Engineering di Institute of Science Tokyo, Andika Putra Dwijayanto berpendapat perlu atau tidaknya pembangunan PLTN sangat tergantung pada komitmen pemerintah. 

"Jika NZE hanya menjadi target angan-angan, dibuat sekadar untuk memuaskan hasrat intelektual seolah-olah telah merencanakan misi suci untuk bumi, sementara bumi tetap menderita dengan pemanasan tanpa henti, maka kita tidak perlu nuklir," tulis Andika. 

Andika berkaca pada pengalaman sejumlah negara di Eropa dalam mengembangkan energi nuklir. Di Perancis, keputusan go nuclear pada dekade 1970-an menjadikan negara itu memiliki salah satu jaringan kelistrikan yang paling bersih di Uni Eropa. 

Di Jerman, emisi gas rumah kaca (GRK) naik hingga 6 kali lipat usai negara itu menutup seluruh PLTN dan menggantinya dengan EBT pascatragedi kebocoran radioaktif di Jepang pada 2011. Jepang juga mengalami kenaikan GRK hingga 16% pada 2013 setelah menutup semua PLTN mereka. 

"Jika Indonesia serius ingin mencapai target NZE, bercermin dari laporan-laporan lembaga internasional dan kasus riil yang telah terjadi di berbagai negara, maka kita memang perlu nuklir," jelas Andika. 

 


 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan