Empat orang tewas dalam kecelakaan yang melibatkan truk di Jalan Padang-Bukittinggi, Padang Pariaman, Sumatera Barat, Minggu (17/11). Insiden itu bermula dari truk yang mengalami rem blong, lalu menabrak sepeda motor dan pohon, kemudian menimpa sebuah warung.
Kejadian kecelakaan yang melibatkan truk bukan kali itu saja terjadi. Sebelumnya, pada Senin (11/11) insiden maut pun terjadi di jalan tol Cipularang KM 92, Jawa Barat. Kecelakaan beruntun yang melibatkan 17 mobil itu menyebabkan satu orang meninggal dunia dan 20-an orang lainnya luka-luka. Penyebabnya, truk kontainer yang mengebut dan menabrak mobil di depannya.
Lalu, truk tanah yang menyerempet sepeda motor, hingga menyebabkan seorang bocah yang dibonceng terjatuh dan kakinya tergilas di Jalan Raya Salembaran, Teluknaga, Kabupaten Tangerang, Banten pada Kamis (7/11). Insiden itu memicu kemarahan warga hingga merusak beberapa truk tanah yang melintas.
Kemudian truk boks ugal-ugalan yang menabrak banyak kendaraan di kawasan Cipondoh, Tangerang, Banten pada Kamis (31/10). Insiden itu bermula, setelah sopir truk boks kabur usai menabrak mobil di lampu lalu lintas di Jalan Veteran, Tangerang. Sopir berhasil ditangkap warga di dekat Bundaran Tugu Adipura, Cipondoh. Peristiwa itu menyebabkan 10 mobil dan enam sepeda motor rusak, serta enam orang luka-luka.
Menurut Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran) Deddy Herlambang, permasalahan ini sangat kompleks. Salah satunya regulasi dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) yang hanya menjadikan sopir sebagai sumber masalah. Padahal, pengusaha dari truk tersebut juga harus bertanggung jawab dalam kasus kecelakaan.
Deddy mengatakan, dari sisi manajemen seharusnya pengusaha sudah salah bila mempekerjakan sopir yang problematik. Apalagi sampai mengonsumsi narkoba, seperti yang ditemukan polisi pada kasus insiden di Cipondoh. Dia menilai, pengusaha diduga tidak memeriksa ulang ketika sopir ingin mengendarai truk.
“Selain itu, penegakan hukum kita lemah karena enggak ada ramp check, beda sama bus,” kata Deddy kepada Alinea.id, Jumat (15/11).
Dia melanjutkan, sebelum ada Undang-Undang Ciptaker, dinas perhubungan (dishub) memiliki satuan dalam penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) yang bisa melakukan penyidikan jika ada sopir truk yang melanggar. Saat ini, semua urusan kecelakaan dilimpahkan ke polisi. Sedangkan anggota polisi tidak cukup untuk fokus mengurusi hal ini.
Di samping itu, kata dia, UU Ciptaker juga tidak mewajibkan kendaraan dengan pelat hitam untuk melakukan pemeriksaan. Karena itu, mobil travel gelap atau angkutan dengan pelat hitam, bisa bebas berkeliaran, tanpa harus takut dilarang beroperasi karena kondisi yang tidak mumpuni.
“Berarti, UU Ciptaker itu melemahkan keselamatan karena yang diperiksa hanya pelat kuning,” ucap dia.
“Sudah seharusnya pemerintah mengubah aturan itu karena manajemen keselamatan itu satu kesatuan, termasuk pengusaha jangan hanya sopir (yang disalahkan) karena itu juga bukan truknya dia.”
Sementara itu, pengamat transportasi sekaligus Wakil Ketua Umum Bidang Pemberdayaan dan Penguatan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno menyarankan pemerintah untuk mengadakan sekolah mengemudi bagi semua jenis kendaraan.
Sebab, profesi seperti pilot, nakhoda, dan masinis harus bersekolah dahulu. Namun, sopir angkutan darat, termasuk truk, tidak ada sekolahnya dan tidak melewati pendidikan dan latihan (diklat).
Menurut Djoko, untuk bisa menjadi sopir bus atau truk, cukup melalui pemagangan menjadi kernet, dimulai dari mearkirkan dan mencuci kendaraan. Kemudian mencoba menjalankan kendaraan dalam jarak terbatas.
“Kementerian Perhubungan bersama Polri dapat memulai membuat sekolah mengemudi untuk calon pengemudi angkutan umum,” tutur Djoko, Senin (18/11).
Djoko menuturkan, setelah mengikuti sekolah mengemudi, baru calon sopir truk atau bus bisa memperoleh surat izin mengemudi (SIM). Sedangkan bagi mereka yang sudah punya SIM dan mengemudikan truk, maka wajib ikut diklat minimal satu minggu untuk emmahami aspek keselamatan.
“Kalau melewati sekolah mengemudi secara formal, maka batas pendidikan minimum dan usia calon pengemudi juga harus ada,” tutur Djoko.
“Perda (Provinsi) DKI Jakarta Nomor 5 Tahun 2014 tentang Transportasi menetapkan, calon pengemudi angkutan umum minimal berusia 22 tahun dan berpendidikan minimal SMA.”
Selain itu, dia melihat, bisnis angkutan truk harus ditata agar lebih profesional, seperti memiliki sistem manajemen keselamatan, hubungan industrial yang benar agar proses proses rekrutmen pengemudi juga lewat cara yang benar, ada batasan jam kerja, serta pendapatan minimal.
Lalu, pemerintah daerah (pemda) melalui dinas perhubungan wajib melakukan pembinaan, termasuk melakukan uji kir secara rutin terhadap kendaraan angkutan umum yang ada di wilayahnya.
“Memang ini punya konsekuensi terhadap tarif angkutan barang. Tidak masalah, yang paling penting adalah keselamatan bertransportasi bagi semua warga terjamin,” ucap Djoko.