Segudang masalah bila layanan koridor 1 TransJakarta dihentikan
Wacana penghapusan rute TransJakarta koridor 1 Blok M-Stasiun Jakarta Kota yang bersinggungan dengan rute mass rapid transit atau moda raya terpadu (MRT) Lebak Bulus-Stasiun Jakarta Kota menuai polemik.
Menurut Kepala Dinas Perhubungan (Kadishub) Provinsi Jakarta Syafrin Liputo, seperti dikutip dari Antara, penghapusan layanan tersebut dilakukan usai jalur MRT rute Lebak Bulus-Stasiun Jakarta Kota tuntas dikerjakan. Tujuannya agar tidak saling tumpang tindih antarmoda transportasi umum tersebut.
Tidak hanya koridor 1, wacana penghapusan rute TransJakarta juga bakal dilakukan di koridor 2 Pulogadung-Harmoni kalau semua jaringan MRT sudah terbangun.
“Mereka akan dialihkan untuk mengisi kekosongan layanan lainnya. Demikian pula halnya dengan layanan yang nantinya akan berhimpitan dengan angkutan rel,” tutur Syafrin, dikutip Antara.
Menurut Wakil Ketua Bidang Penguatan dan Pengembangan Kewilayahan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat Djoko Setijowarno, koridor 1 TransJakarta yang beroperasi sejak 2004 sudah menjadi tulang punggung transportasi massal di Jakarta.
Dengan kapasitas penumpang harian mencapai sekitar 66.000 orang pada hari kerja, koridor ini tidak hanya menghubungkan kawasan strategis, tetapi juga berfungsi sebagai penghubung koridor 2, 3, 4, hingga 13.
Di sisi lain, layanan ini pun terkait dengan kebutuhan masyarakat dari berbagai latar belakang sosial-ekonomi. Dengan tarif terjangkau Rp3.500, koridor 1 menjadi pilihan utama warga kelas menengah ke bawah.
Maka dari itu, jika layanan ini dihapus, menurut Djoko, banyak penumpang berpotensi beralih menggunakan kendaraan pribadi, terutama sepeda motor, yang justru akan meningkatkan kemacetan dan emosi karbon.
Apalagi Djoko menyebut, pelanggan MRT dan TransJakarta punya karakteristik yang berbeda. Penumpang MRT cenderung berasal dari kelas sosial-ekonomi menengah ke atas. Hal itu terlihat dari pola perjalanan dan tarif yang jauh lebih mahal. Saat ini, tarif MRT untuk jarak penuh mencapai Rp14.000, yang diperkirakan bakal naik hingga Rp30.000 pada 2027.
“Jika layanan koridor 1 dihapus, kelompok masyarakat yang tidak mampu menjangkau tarif MRT akan kehilangan akses transportasi yang layak,” kata Djoko kepada Alinea.id, Sabtu (28/12).
Djoko mengingatkan, “pemaksaan” peralihan penumpang ke MRT hanya akan mendorong peningkatan penggunaan kendaraan pribadi. Dengan estimasi 50% penumpang TransJakarta beralih ke sepeda motor, kebijakan itu justru bertentangan dengan tujuan pengembangan MRT, yakni mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi.
Di samping itu, wacana penghapusan koridor 1 juga akan mengganggu konektivitas dengan koridor dan rute transportasi umum lain yang sudah terintegrasi. Dia mengatakan, koridor tersebut menghubungkan berbagai titik penting, termasuk akses ke Jalan Jenderal Sudirman, Jalan MH. Thamrin, serta Jalan Medan Merdeka—yang juga menjadi jalur pengumpan bagi layanan MRT, light rail transit atau lintas raya terpadu (LRT), dan kereta rel listrik (KRL) commuter line.
Penghapusan koridor 1 dianggap Djoko tidak mencerminkan prinsip integrasi transportasi publik yang diharapkan. “Bukannya mendorong intergrasi antarmoda, rencana ini malah menciptakan potensi disintegrasi layanan transportasi massal di Jakarta,” ucap Djoko.
Terlebih lagi, kata dia, TransJakarta adalah simbol keberhasilan pengembangan transportasi publik yang dimulai dengan penuh perjuangan pada awal 2000-an. Maka, penghapusan koridor 1 TransJakarta tidak hanya akan merugikan pengguna, tetapi juga menghapus jejak sejarah perjuangan pembangunan transportasi massal di Jakarta.
Djoko mencontohkan, pengoperasian LRT Jabodebek merupakan bukti kalau integrasi adalah kunci keberhasilan transportasi massal. Ketika LRT Jabodebek mulai beroperasi, kekhawatiran akan berkurangnya penumpang TransJakarta terbukti tidak beralasan. Sebaliknya, halte-halte TransJakarta yang terintegrasi dengan stasiun LRT justru mengalami peningkatan jumlah penumpang.
“Hal ini membuktikan bahwa masyarakat membutuhkan konektivitas antarmoda, bukan pengurangan layanan,” ucapnya.
Pemerhati masalah transportasi dan hukum Budiyanto menekankan, fokus utama pemerintah seharusnya memindahkan pengguna kendaraan pribadi ke transportasi pubik. Bukan memindahkan pengguna TransJakarta ke MRT.
Wacana menghapus koridor 1 TransJakarta, kata Budiyanto, hanya akan menciptakan “kanibalisme subsidi” antara MRT dan TransJakarta, tanpa menyentuh 90% pengguna kendaraan pribadi yang seharusnya menjadi target utama kebijakan transportasi publik.
Bahkan, lanjut dia, penghapusan koridor 1 tanpa kajian matang hanya akan menambah masalah. Budiyanto ragu MRT mampu menampung penumpang dari TransJakarta, terutama pada jam-jam sibuk.
“Dana PSO (public service obligation) berasal dari pajak rakyat, yang berarti masyarakat memiliki saham di layanan transportasi publik ini,” ujar Budiyanto, belum lama ini.
“Mereka berhak mendapatkan pelayanan yang layak. Menghapus koridor 1 tanpa solusi yang jelas adalah tindakan yang tidak adil.”
Bukan sekadar kebijakan yang keliru, menurut Budiyanto rencana penghapusan koridor 1 juga berpotensi merusak sistem transportasi publik di Jakarta secara keseluruhan. Dengan dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan yang besar, kebijakan ini akan membawa Jakarta mundur dalam mengatasi masalah transportasi.
“Pemerintah DKI Jakarta perlu segera mengevaluasi rencana ini dan kembali kepada prinsip-prinsip integrasi dan keberlanjutan transportas publik yang inklusif bagi semua lapisan masyarakat,” tutur Budiyanto.