Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) resmi menghapus sistem penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa untuk level SMA. Kebijakan itu mulai akan diberlakukan secara menyeluruh pada tahun ajaran baru 2024/2025.
Kepala Badan Standar Nasional Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek Anindito Aditomo mengatakan kebijakan itu sudah mulai diterapkan secara bertahap mulai tahun 2021 sebagai implementasi Kurikulum Merdeka.
Pada 2022, kebijakan itu berlaku pada 50% sekolah di seluruh Indonesia dan pada tahun ajaran 2024/2025 ditargetkan berlaku serentak
pada 90-95% sekolah. Sebagai ganti penjurusan, Kurikulum Merdeka memberikan keleluasaan bagi murid memilih mata pelajaran sesuai minatnya.
"Persiapan yang lebih terfokus dan mendalam. Ini sulit dilakukan jika murid masih dikelompokkan ke dalam jurusan IPA, IPS, dan Bahasa," kata Nino, sapaan akrab Anindito, kepada wartawan di Jakarta, Kamis (18/7).
Sebagai gambaran, siswa yang ingin kuliah program studi teknik bisa menggunakan jam pelajaran pilihan untuk memperdalam matematika tingkat lanjut dan fisika, tanpa harus mengambil pelajaran biologi.
Serupa, siswa yang mengincar kuliah di program studi kedokteran bisa memperdalam mata pelajaran biologi dan kimia, tanpa harus belajar matematika tingkat lanjut.
Pengamat pendidikan Doni Koesoema menilai kebijakan penghapusan penjurusan di SMA menyisakan beragam persoalan. Salah satu yang terpenting ialah berkurangnya pengetahuan siswa pada ilmu-ilmu fundamental.
Perguruan tinggi, kata Doni, bakal kesulitan menyeleksi calon mahasiswa yang punya bekal ilmu-ilmu mendasar yang baik. Apalagi, proses seleksi masuk perguruan tinggi berbasis mata pelajaran sudah dihapuskan Mendikbud Nadiem Makarim.
"Seleksi masuk PTN malah disesuaikan dengan kurikulum merdeka. Ini kesalahan berpikir. Harusnya kan kebijakan apa yang akan memperkuat daya saing perguruan tinggi di masa depan, lalu SMA harusnya berfungsi mempersiapkan siswa dengan bekal memadai untuk masuk perguruan tinggi,” ujarnya kepada Alinea.id, Minggu (21/7).
Sejak 2022, Kemendikbud menghapus tes mata pelajaran dari materi ujian dan tak lagi membedakan jalur IPA dan IPS untuk seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN).
Sebagai gantinya, SNMPTN fokus pada tes skolastik yang mengukur empat hal yaitu potensi kognitif, penalaran matematika, literasi dalam Bahasa Indonesia, dan literasi dalam Bahasa Inggris.
Jika penjurusan di SMA dihapuskan, menurut Doni, seharusnya seleksi masuk PTN dibuat lebih ketat. Ia mengusulkan supaya ujian tulis IPA terpadu dan IPS terpadu kembali diberlakukan dalam seleksi masuk perguruan tinggi.
"Jadi, seleksi masuk PTN harus lebih ketat berdasarkan kompetensi keilmuan, bukan suka-sukanya anak. Ini nanti yang akan melemahkan PTN,” ujar Doni.
Persoalan lainnya yang mungkin muncul ialah ketersediaan dan kompetensi guru dalam mendampingi para siswa saat memilih dan menentukan mata pelajaran sesuai minat dan bakat mereka.
"Bila sekolah tidak mendampingi atau guru bimbingan konseling tidak paham, maka anak-anak yang akan dirugikan," imbuhnya.
Guru besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Cecep Darmawan menyebut kebijakan penghapusan penjurusan di SMA terkesan tergesa-gesa. Kebijakan itu semestinya diawali dengan kajian yang komprehensif terlebih dulu.
Di sisi lain, Kemendikbud juga harus menyiapkan sarana dan prasarana untuk menjalankan kebijakan itu, termasuk di antaranya memastikan kompetensi dan ketersediaan pengajar di sekolah-sekolah
“Soal penghapusannya sudah tepat, tapi what’s next? Harusnya dibuat studi dulu, membuat grand design ada peta jalannya. Saya sih yakin memang belum sepenuhnya mampu, tapi setidaknya dibuat road map. Misalnya, dari berapa sekolah, mau berapa persen dulu,” ujar Cecep kepada Alinea.id, Sabtu (21/7).
Kebijakan teranyar ini, menurut Cecep, akan kian membebani para guru. Pasalnya, peminatan menuntut setiap tenaga pengajar harus lebih ahli dan punya spesialisasi. Di lain sisi, sistem pendidikan Indonesia masih lebih dominan didesain untuk edukasi formal ketimbang informal.
Situasinya kian ruwet karena tak semua lembaga pendidikan berada di bawah naungan Kemendikbud. Kementerian Agama, misalnya, menaungi sekolah-sekolah berbasis keagamaan dari TK hingga perguruan tinggi. Ada pula instansi-instansi lain yang punya lembaga pendidikan kedinasan mereka sendiri.
"Penyelarasan program ini tidak terlalu lama untuk diwujudkan jika pemerintah serius dari sisi anggaran. Yang dibutuhkan akselerasi. Sekarang bukan soal ada jurusan atau tidak, tapi standarisasi unggul,” jelasnya.